(Habib Abdurrahman Bin Alwi Al-Habsyi)
Gelar Dari Sultan Aceh Darussalam:
- Teuku Chik Monklayu -
- Bentara Laksamana Di Monklayu -
- Tengku Habib, Qadhi, Imeum dan Khatib -
- Waliy al-Amri bi al-Darury Wa al-Syaukah -
(Wakil Sultan Urusan Keagamaan & Administrasi)
Disarikan Dari Proyek Penelitian ”Hubungan Aceh-Arab Pasca Penyebaran Islam”
Oleh: Al-Ustadz Hilmy Bakar dan Tim Acheh Red Crescent
RINGKASAN (SINOPSIS)
Dua tokoh Aceh, Dr. Al Yasa’ Abubakar (Kepala Dinas Syariat Islam NAD) dan Dr. Azman Isma’il, MA (Imam Besar Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh) telah mengeluarkan surat pernyataan tentang asal muasal Waqaf Habib Bugak Asyi. Beliau berdua menyebutkan bahwa seorang hartawan dan dermawan Aceh bernama Tgk. Haji Habib Bugak mewakafkan sebuah rumah di Qusyasyiah, tempat antara Marwah dengan Masjidil Haram Mekkah dan sekarang sudah berada di dalam masjid dekat dengan pintu Bab al Fatah.
Menurut akta ikrar Waqaf yang disimpan dengan baik oleh Nadzir, waqaf tersebut diikrarkan oleh Habib Bugak Asyi pada tahun 1224 Hijriyah (sekitar tahun 1800 Masehi) di depan Hakim Mahkamah Syar’iyah Mekkah. Di dalamnya disebutkan bahwa rumah tersebut diwaqafkan untuk penginapan orang yang datang dari Aceh untuk menunaikan haji, serta orang Aceh yang menetap di Mekkah. Dan Habib Bugak telah menunjuk Nadzir (pengelola) salah seorang ulama asal Aceh yang telah menetap di Mekkah. Nadzir diberi hak sesuai dengan tuntunan syariah Islam. Pada tahun 1420 H (1999 M) Mahkamah Syar’iyah Mekkah mengukuhkan Syekh Abdul Ghani bin Mahmud bin Abdul Ghani Asyi (generasi keempat pengelola wakaf) sebagai Nadzir yang baru. Sejak tahun 1424 H (2004 M) tugas Nadzir dilanjutkan oleh sebuah tim yang dipimpin anak beliau Munir bin Abdul Ghani Asyi (generasi kelima) serta Dr. Abdul Lathif Baltho.
Habib Bugak Asyi telah mewariskan kepada masyarakat Aceh harta yang kini telah berharga lebih 200 juta Riyal atau 5,2 Trilyun rupiah sebagai waqaf fi sabilillah. Pada saat ini harta waqaf telah berupa aset, diantaranya hotel Ajyad (Funduk Ajyad) bertingkat 25 sekitar 500 meter dari Masjidil Haram dan Menara Ajyad (Burj Ajyad) bertingkat 28 sekitar 600 meter dari Masjidil Haram. Kedua hotel besar ini mampu menampung lebih 7000 jamaah yang dilengkapi dengan infrastruktur lengkap. Pada musim haji tahun 1427 lalu, Nadzir (pengelola) Wakaf Habib Bugak Asyi telah mengganti sewa rumah jamaah haji asal Aceh selama di Mekkah sebesar sewa yang telah dibayar Pemerintah Indonesia kepada pemilik pemondokan atau hotel yang ditempati para jamaah haji asal Aceh, yang besarnya sekitar antara SR 1.100 sd SR 2.000, dengan jumlah total 13,5 milyar rupiah. Dan untuk musim haji tahun 1428 tahun ini, Nadzir Waqaf Habib Bugak mengganti biaya pemondokan haji sebesar 25 milyar rupiah.
Namun sampai saat ini belum banyak yang mengetahui secara pasti, siapa sebenarnya Habib Bugak yang telah memberikan manfaat besar kepada masyarakat Aceh, walau beliau sudah wafat ratusan tahun lalu. Demikian pula belum ada literatur yang memuat sejarah hidup beliau. Bahkan ketika penulis bertanya kepada Prof. Dr. Al Yasa’ Abubakar perihal nama asli Habib Bugak, karena beliau adalah salah seorang yang diutus oleh pemda NAD mewakili perundingan di Mekkah. Beliau menjawab bahwa sampai saat ini belum ada data pasti tentang Habib Bugak, karena di ikrar waqaf tidak tercantum nama asli, hanya disebutkan Habib Bugak Asyi. Beliau juga menambahkan agar Bugak juga ditelusuri, apakah yang dimaksud Bugak yang di Bireun atau lainnya. Menurut beliau sekurangnya ada nama Kuala Bugak yang berada di Aceh Timur.
Karena terdorong oleh kehebatan karamah yang dimiliki oleh Habib Bugak ini, Tim Red Crescent dan The Acheh Renaissance Movement, merasa tertarik untuk mengadakan penelitian terhadap sejarah hidup beliau. Karena tidak disangsikan beliau adalah wali Allah yang memiliki karamah besar, bahkan karamahnya tidak hilang dengan meninggalnya beliau, bahkan bertambah-tambah seperti yang terjadi pada waqaf yang beliau berikan. Berawal dari sebuah rumah yang mampu menampung puluhan orang, kini telah menjadi hotel besar yang mampu menampung 7000 orang dan menghasilkan dana besar untuk kepentingan perjuangan di jalan Allah. Diperkirakan jumlah asetnya akan meningkat terus karena diinvestasikan dengan profesional oleh para Nadzir (Pengelola) Wakaf di Mekkah.
Dengan mengadakan survei lapangan, pembacaan literatur dan dokumen terkait serta wawancara dengan beberapa tokoh selama hampir 2 bulan, maka Tim Peneliti menyimpulkan beberapa analisis dan kesimpulan dalam makalah ini yang diharapkan mudah-mudahan dapat memberikan titik terang siapa Habib Bugak Aceh dan apakah beliau adalah orang yang sama dengan Habib Abdurrahman bin Alwi Al-Habsyi sebagaimana dinyatakan keturunan beliau.
Oleh: Al-Ustadz Hilmy Bakar dan Tim Acheh Red Crescent
RINGKASAN (SINOPSIS)
Dua tokoh Aceh, Dr. Al Yasa’ Abubakar (Kepala Dinas Syariat Islam NAD) dan Dr. Azman Isma’il, MA (Imam Besar Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh) telah mengeluarkan surat pernyataan tentang asal muasal Waqaf Habib Bugak Asyi. Beliau berdua menyebutkan bahwa seorang hartawan dan dermawan Aceh bernama Tgk. Haji Habib Bugak mewakafkan sebuah rumah di Qusyasyiah, tempat antara Marwah dengan Masjidil Haram Mekkah dan sekarang sudah berada di dalam masjid dekat dengan pintu Bab al Fatah.
Menurut akta ikrar Waqaf yang disimpan dengan baik oleh Nadzir, waqaf tersebut diikrarkan oleh Habib Bugak Asyi pada tahun 1224 Hijriyah (sekitar tahun 1800 Masehi) di depan Hakim Mahkamah Syar’iyah Mekkah. Di dalamnya disebutkan bahwa rumah tersebut diwaqafkan untuk penginapan orang yang datang dari Aceh untuk menunaikan haji, serta orang Aceh yang menetap di Mekkah. Dan Habib Bugak telah menunjuk Nadzir (pengelola) salah seorang ulama asal Aceh yang telah menetap di Mekkah. Nadzir diberi hak sesuai dengan tuntunan syariah Islam. Pada tahun 1420 H (1999 M) Mahkamah Syar’iyah Mekkah mengukuhkan Syekh Abdul Ghani bin Mahmud bin Abdul Ghani Asyi (generasi keempat pengelola wakaf) sebagai Nadzir yang baru. Sejak tahun 1424 H (2004 M) tugas Nadzir dilanjutkan oleh sebuah tim yang dipimpin anak beliau Munir bin Abdul Ghani Asyi (generasi kelima) serta Dr. Abdul Lathif Baltho.
Habib Bugak Asyi telah mewariskan kepada masyarakat Aceh harta yang kini telah berharga lebih 200 juta Riyal atau 5,2 Trilyun rupiah sebagai waqaf fi sabilillah. Pada saat ini harta waqaf telah berupa aset, diantaranya hotel Ajyad (Funduk Ajyad) bertingkat 25 sekitar 500 meter dari Masjidil Haram dan Menara Ajyad (Burj Ajyad) bertingkat 28 sekitar 600 meter dari Masjidil Haram. Kedua hotel besar ini mampu menampung lebih 7000 jamaah yang dilengkapi dengan infrastruktur lengkap. Pada musim haji tahun 1427 lalu, Nadzir (pengelola) Wakaf Habib Bugak Asyi telah mengganti sewa rumah jamaah haji asal Aceh selama di Mekkah sebesar sewa yang telah dibayar Pemerintah Indonesia kepada pemilik pemondokan atau hotel yang ditempati para jamaah haji asal Aceh, yang besarnya sekitar antara SR 1.100 sd SR 2.000, dengan jumlah total 13,5 milyar rupiah. Dan untuk musim haji tahun 1428 tahun ini, Nadzir Waqaf Habib Bugak mengganti biaya pemondokan haji sebesar 25 milyar rupiah.
Namun sampai saat ini belum banyak yang mengetahui secara pasti, siapa sebenarnya Habib Bugak yang telah memberikan manfaat besar kepada masyarakat Aceh, walau beliau sudah wafat ratusan tahun lalu. Demikian pula belum ada literatur yang memuat sejarah hidup beliau. Bahkan ketika penulis bertanya kepada Prof. Dr. Al Yasa’ Abubakar perihal nama asli Habib Bugak, karena beliau adalah salah seorang yang diutus oleh pemda NAD mewakili perundingan di Mekkah. Beliau menjawab bahwa sampai saat ini belum ada data pasti tentang Habib Bugak, karena di ikrar waqaf tidak tercantum nama asli, hanya disebutkan Habib Bugak Asyi. Beliau juga menambahkan agar Bugak juga ditelusuri, apakah yang dimaksud Bugak yang di Bireun atau lainnya. Menurut beliau sekurangnya ada nama Kuala Bugak yang berada di Aceh Timur.
Karena terdorong oleh kehebatan karamah yang dimiliki oleh Habib Bugak ini, Tim Red Crescent dan The Acheh Renaissance Movement, merasa tertarik untuk mengadakan penelitian terhadap sejarah hidup beliau. Karena tidak disangsikan beliau adalah wali Allah yang memiliki karamah besar, bahkan karamahnya tidak hilang dengan meninggalnya beliau, bahkan bertambah-tambah seperti yang terjadi pada waqaf yang beliau berikan. Berawal dari sebuah rumah yang mampu menampung puluhan orang, kini telah menjadi hotel besar yang mampu menampung 7000 orang dan menghasilkan dana besar untuk kepentingan perjuangan di jalan Allah. Diperkirakan jumlah asetnya akan meningkat terus karena diinvestasikan dengan profesional oleh para Nadzir (Pengelola) Wakaf di Mekkah.
Dengan mengadakan survei lapangan, pembacaan literatur dan dokumen terkait serta wawancara dengan beberapa tokoh selama hampir 2 bulan, maka Tim Peneliti menyimpulkan beberapa analisis dan kesimpulan dalam makalah ini yang diharapkan mudah-mudahan dapat memberikan titik terang siapa Habib Bugak Aceh dan apakah beliau adalah orang yang sama dengan Habib Abdurrahman bin Alwi Al-Habsyi sebagaimana dinyatakan keturunan beliau.
A. Pendahuluan & Latar Belakang
Aceh adalah salah satu kawasan di wilayah dunia Islam yang senantiasa mendapat perhatian sejak dahulu kala sebagai pusat pertemuan budaya dan peradaban dunia. Letak strategis geografi Aceh di ujung barat pulau Sumatra telah menjadikanya sebagai wilayah lintasan peradaban dan budaya besar dunia yang dibuktikan dengan penemuan situs ataupun barang peninggalan dari budaya purbakala, Hindu, Budha maupun Islam. Sementara masyarakat Aceh adalah asimilasi dari masyarakat berperadaban tua, makanya Aceh akronim dari Arab, Cina, Eropah dan Hindia, yang merupakan perwakilan etnis terbesar umat manusia. Bukti-bukti terbaru menunjukkan bahwa masyarakat Aceh telah berinteraksi dan berhubungan dengan dunia Arab, terutama Mesir sejak zaman Fir’aun kira-kira 2000 tahun sebelum Masehi. Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya beberapa jenis bahan pengawet mummi Fir’aun Mesir, diantaranya kafuuro atau kapur barus yang terdapat di sekitar Aceh. Bahkan tidak diragukan bahwa Barus yang dimaksud adalah di Lamuri wilayah Aceh Besar. Claudius Ptolemaeus, ahli ilmu bumi klasik dari Mesir menyebut nama ”Barousai” sebagai negeri yang terletak di pinggir jalan menuju Tiongkok.[1]
Dengan adanya hubungan masyarakat Aceh sejak 2000 sebelum Masehi lalu dengan Mesir, maka tidak mengherankan ketika nabi Muhammad saw membawa Islam pada awal abad ke 7 Masehi, langsung tersebar di kalangan para pedagang Nusantara Aceh yang memang sudah berhubungan melalui rute perdagangan di antara pelabuhan Yaman dan Hijaz Semenanjung Arabia. Dalam beberapa riwayat dari shahabat Nabi disebutkan sebuah bangsa dari sebelah timur yang bersama-sama berperang dan menyebarkan Islam. Penyebaran Islam secara langsung dilakukan para pedagang Nusantara-Aceh dan dilanjutkan dengan pengiriman misi dakwah dan perdagangan sejak zaman pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab. Demikian pula halnya ketika keturunan bani Umayyah, terutama sejak Yazid bin Muawiyah melakukan pembantaian terhadap keturunan Sayyidina Husein ra, maka perpindahan keturunan Nabi saw dan ulama-ulama yang setia padanya semakin banyak ke Nusantara, terutama Aceh yang terletak paling Barat dan karena masyarakatnya sudah menerima dan memeluk ajaran Islam. Tidak diragukan bahwa Islamisasi Nusantara, termasuk penaklukan kerajaan terbesar Jawa-Hindu, Majapahit, dirancang dan digerakkan dari Aceh silih berganti sejak awal abad VIII Masehi berpusat di Jeumpa, Pasai, Perlak dan lainnya bibawah pimpinan sultan-sultan Islam yang merupakan mata rantai gerakan Islamisasi dunia yang menjadikan Makkah al-Mukarramah sebagai porosnya yang mendapat dukungan penuh para Khalifah Islam turun temurun.[2]
Kegemilangan peradaban masyarakat Aceh yang telah berkembang pesat sebelumnya telah memudahkan para pembawa Islam untuk memajukannya secara maksimal. Hal ini mengantarkan masyarakat Aceh sebagai bagian dari pergerakan internasional pembebasan umat manusia dari belenggu kegelapan yang membawanya sebagai masyarakat berperadaban tinggi berdasarkan nilai-nilai keuniversalan dan keagungan Islam. Dalam Bustanu’l Salatin, Syekh Nuruddin telah menggambarkan bagaimana tingginya pengetahuan dan pemikiran masyarakat Aceh, baik di kalangan para sultan, pejabat negara sampai kepada masyarakat umum sehingga banyak ulama yang datang ke Aceh harus kembali belajar agar cukup pengetahuannya untuk mengajar. Itulah sebabnya para pemuka Islam menjuluki Aceh sebagai “Serambi Mekkah”, sebagai satu-satunya serambi Mekkah di dunia, yang tidak lain bermakna sebenarnya adalah karena Aceh telah menjadi pusat rujukan ajaran dan fatwa Islam di Nusantara. Tradisi dan peradaban Islam di Aceh sudah berkembang pesat dan bahkan para ulama dan cerdik pandainya memiliki kaliber yang sederajad dengan para ulama Hijaz dan semenanjung Arabia lainnya. Kasus ini dapat dilihat pada diamnya (tawaquf) ulama-ulama Hijaz di Mekkah atas kepemimpinan wanita selama lebih 50 tahun pemerintahan 4 orang Sultanah Aceh atas dukungan fatwa Mufti dan Qadhi Malik al-Adhil, Syekh Abdul Rauf al-Singkili (Maulana Syiah Kuala). Hal ini tidak lain untuk mengormati ijtihad beliau yang didasarkan pada pengetahuan mendalam dan luas terhadap ajaran Islam. Setiap utusan Syarief Mekkah yang datang kepada beliau harus mengakui ketinggian ilmunya serta kesahihan ijtihad dan fatwanya sehingga hujjahnya tak terpatahkan. Namun setelah beliau wafat, maka Ketua Mufti Mekkah mengeluarkan fatwa yang memakzulkan (memberhentikan) Sultanah Kamalat Ziatuddinsyah pada 1699 dengan hujjah bahwa syari’at Islam tidak membenarkan perempuan menjadi pemimpin negara.[3]
Pemikir Islam kontemporer Ismail R. Faruqi[4] menjuluki muslim nusantara, terutama pejuang Aceh sebagai "One of the oldest and bloodiest struggle of the Muslims have waged against Christian-Colonialist aggression". Salah satu rumpun bangsa yang paling tertua dan paling berdarah diantara bangsa Muslim dalam menentang agresi kaum Kristen-Kolonialis. Karena realitas sejarah membuktikan hampir 500 tahun lebih masyarakat Muslim Aceh dibawah kepemimpinan para Sultan berperang silih berganti melawan kaum Imprialis-Kolonialis ”kaphe” yang hendak menjajah Aceh. Dengan gagah perkasa dan senjata apa adanya mereka bangkit melawan tentara-tentara Salib dari Portugis maupun Belanda yang telah memiliki persenjataan modern pada masa itu.[5]
Aceh dengan segala kegemilangan sejarah peradabannya sejak dahulu kala telah melahirkan tokoh-tokoh berkaliber dunia pada bidangnya masing-masing. Nama-nama besar dari Aceh telah menghiasi perjalanan sejarah umat manusia, diantaranya seperti Sultan Malikus Saleh, Sultan Iskandar Muda, Hamzah Fansuri, Syamsuddin al-Sumatrani, Nuruddin Ar-Raniri, Ratu Safiatuddin, Maulana Syiah Kuala, Laksamana Malahayati, Tgk. Chik Di Tiro, Teuku Umar, Cut Nya’ Dhien dan lain-lainnya.[6]
B. Tujuan Penelitian
Berdasarkan beberapa dokumen resmi yang dikeluarkan Kesultanan Aceh Darussalam bertahun antara 1206 H (1785 M) sampai 1289 H (1870 M), diketahui bahwa Habib Abdurrahman bin Alwi bin Syekh Al-Habsyi adalah salah seorang tokoh Aceh yang memiliki peranan penting dalam sejarah rekonsiliasi masyarakat Aceh. Terutama saat terjadinya ketegangan yang timbul pada awal abad ke 18 Masehi, akibat lain dari pemberhentian Sultanah Kamalat Ziatuddinsyah pada tahun 1699 yang digantikan oleh suaminya Sultan Badrul Alam Sayyid Ibrahim Syarif Hasyim Jamaluddin Syah Jamalullayl (1699-1702) atas fatwa dari Ketua Mufti Syarief Mekkah setelah wafatnya Mufti-Qadhi Malikul Adil Maulana Syiah Kuala. Fatwa ini telah mengantarkan para Sayyid (keturunan Nabi Muhammad saw) sebagai Sultan Aceh selama hampir 30 tahun. Naiknya kembali keturunan garis Sultan asal Pasai dari keturunannya di Bugis, Sultan Alaidin Ahmad Shah (1733) dan para pelanjutnya telah menimbulkan kegusaran dan ketakutan dari keturunan para sayyid, terutama keturunan dari garis Sultan yang dikhawatirkan dapat menimbulkan pembantaian. Apalagi pada saat itu, tokoh kharismatis dari kalangan Habib belum ada yang setaraf dengan Habib Abu Bakar Balfaqih (Habib Dianjung), wafat pada tahun 1680an, sementara belum ada Habib menggantikan kedudukan beliau yang dihormati serta disegani oleh masyarakat Aceh, baik kalangan istana, ulama dan masyarakat luas. Bersamaan pada saat itu kaum Imperialis-kolonialis Barat kaphe sedang mencari-cari cara untuk masuk menaklukkan Aceh dan telah mempersiapkan strategi pecah belah di antara Sultan dan kekuatan politik lainnya dengan berbagai provokasi. Maka para tokoh sayyid di Aceh meminta Syarief Mekkah yang masih memiliki otoritas keagamaan atas Aceh agar mengirim para tokoh kharismatis, Habib dan Ulama yang dapat membawa kedamaian dan rekonsiliasi masyarakat Aceh. Di antara utusan yang datang dari Mekkah adalah Habib Abdurrahman bin Alwi Al-Habsyi yang kemudian dikenal dengan Habib Teuku Chik Monklayu, yang juga dikenal dengan Habib Bugak Aceh, karena beliau tinggal serta maqamnya di Pante Sidom, Bugak, Bireuen.
Namun sampai saat ini belum banyak yang mengetahui sejarah kehidupan Habib Abdurrahman Al-Habsyi Bugak. Demikian pula belum ditemukan literatur yang memuat sejarah hidup, perjuangan dan kiprah beliau dalam masyarakat Aceh. Adalah sebuah keniscayaan sejarah untuk mengungkap jatidiri Habib Abdurrahman Al-Habsyi yang dikenal masyarakat sebagai Habib Bugak. Selain untuk (i) kepentingan wawasan dan khazanah ilmu pengetahuan bagi generasi Aceh, (ii) adalah penting juga untuk mengungkap sejauh mana peranan para Habib dalam sejarah peradaban Aceh sebagai tauladan kepada keturunannya dalam membangun kembali kegemilangan Aceh. (iii) Hal ini juga sangat diperlukan oleh masyarakat untuk menjaga kesimpangsiuran informasi yang berkembang. Karena banyak para peziarah yang ingin mengunjungi maqam Habib Bugak sebagai ungkapan rasa hormat atas perjuangan dan jasa beliau pada masyarakat Aceh, namun mereka belum mendapat kepastian dari para ulama dan cendekiawan kita. (iv) Rasulullah saw memberikan anjuran kepada kaum Muslim untuk menghormati dan mentauladani generasi terdahulu yang telah memberikan manfaat kepada masyarakatnya, dan bagaimana mungkin dapat ditauladani jika identitas dan sejarah hidupnyapun belum diketahui.
Menurut pandangan agama, Habib Abdurrahman Al-Habsyi Bugak termasuk hamba dan wali Allah yang mendapat kehormatan dan kemulyaan Allah (karamah). Selain beliau seorang Habib keturunan Nabi Muhammad saw, beliau adalah seorang ulama faqih, sufi dan seorang bentara-laksamana serta pemimpin masyarakat yang dipercaya oleh Sultan Aceh sebagai Teuku Chik yang kekuasaannya terbentang dari desa-desa di sekitar Jeumpa, Peusangan, Monklayu, Bugak sampai Cunda dan Nisam sebagaimana yang dituangkan dalam surat keputusan Sultan Mahmudsyah pada surat bertahun 1224 H (1800 M). Kedudukan beliau telah mengantarkannya sebagai salah seorang hartawan yang memiliki tanah pertanian luas serta menguasai jalur laut, namun kesolehan dan kesufiannyanya telah menjadikan beliau sebagai dermawan yang sangat mudah membantu masyarakat sebagai tradisi keluarga Nabi (ahl al-Bayt). Dikabarkan beliau banyak berinfak dan bersedekah kepada masyarakat sekitarnya, bahkan karena kecintaannya kepada Aceh yang telah memberikan keutamaan dan nikmat besar, beliau rela tidak kembali ke tanah kelahirannya di Makkah al-Mukarramah dan mewakafkan seluruh harta warisannya di Mekkah untuk kepentingan masyarakat Aceh. Dan amal saleh yang diwaqafkannya berkembang berlipat-lipat bahkan memberikan manfaat yang terus berdampak besar kepada masyarakat Aceh. Maka mentauladani amalannya adalah sesuatu hal yang diharapkan dapat mendekatkan diri kepada Allah serta mendapat kemulian dari-Nya sebagaimana yang telah diberikan Allah SWT kepada Habib Bugak.
Jadi penelitian dan penelusuran awal ini bertujuan utamanya untuk mengenal secara pasti jatidiri serta sejarah hidup Habib Abdurrahman Al-Habsyi Bugak dari berbagai sumber rujukan yang dapat dipertanggungjawabkan keabsahannya secara ilmiyah. Disamping itu untuk mengungkap peranan keturunan Rasulullah (Habib) dalam sejarah peradaban masyarakat Aceh, sekaligus untuk mengungkap beberapa fakta sejarah yang belum tertulis dalam sejarah Aceh modern.
C. Peranan Sayyid dan Habib Dalam Masyarakat Aceh
Sayyid atau Habib adalah gelar yang diberikan kepada para keturunan Rasulullah dari keturunan Sayyidina Husein bin Ali ataupun dari keturunan Sayyidina Hasan bin Ali, biasa juga disebut dengan Syarief. Gelar Habib biasanya hanya diberikan kepada para pemuka atau tokoh yang telah lanjut usia dan memiliki pengetahuan serta keistimewaan dalam masyarakatnya. Biasanya para Habib adalah seorang tokoh yang berpengaruh serta memiliki pengetahuan luas yang dijadikan pemimpin keagamaan yang memiliki otoritas keagamaan kepada masyarakat muslim. Disamping memiliki kharisma yang besar, biasanya juga memiliki kelebihan-kelebihan supra-natural atau secara spiritual. Boleh dikata bahwa Habib adalah para pemuka atau Ulama dikalangan para sayyid ataupun syarief.
Para peneliti telah membuktikan bahwa para Sayyid atau Habib memiliki peran yang sangat penting dalam pengembangan Islam di Nusantara sejak awal kedatangannya. Terutama setelah terjadinya eksodus besar-besaran para keturunan Rasulullah dari Dunia Arab atau Parsia akibat konflik dan perang saudara yang terjadi dengan keturunan dari Dinasti Bani Umayyah atau Abbasyiah pada awal abad VIII Masehi. Karena memiliki garis keturunan dengan Rasulullah saw, berpengetahuan luas, memiliki kemampuan menggalang pengikut setia, memobilisasi dana serta kecakapan adminstrasi dan kepemimpinan, maka banyak diantaranya yang menjadi menantu para raja dan selanjutnya menggantikan kedudukannya sebagai Sultan.
Apalagi ada sebagian faham, terutama faham awal masyarakat Nusantara telah mewajibkan memberi penghormatan kepada para keturunan Rasulullah berdasarkan sebuah sabda beliau: ”Aku tinggalkan kepadamu dua perkara, yang jika engkau berpegang kepada keduanya, maka engkau tidak akan sesat selama-lamanya, yaitu Kitab Allah (al-Qur’an dan Sunnah) dan Keturunanku”.[7] Dalam riwayat lain, Rasulullah saw bersabda: ”Aku tinggalkan bagi kalian dua hal. Jika kalian berpegang teguh kepada keduanya, kalian pasti tidak akan pernah tersesat. Salah satu dari dua hal itu lebih agung daripada yang lain; Kitabullah, sebuah tali yang terentang dari langit ke bumi; dan keturunanku, ahlul-baitku. Keduanya tidak akan terpisah satu sama lain hingga hari Kiamat nanti. Maka, pikirkanlah baik-baik bagaimana kalian akan berpegang teguh kepada keduanya setelah aku pergi.” Itulah sebabnya para keturunan Rasulullah saw selalu mendapat kedudukan terhormat dalam strata masyarakat di Nusantara, termasuk di Aceh.[8]
Menurut penelitian Snouck[9], para keturunan Rasulullah yang dipanggil Sayyid, Syarief atau Habib memiliki kedudukan terhormat di kalangan masyarakat Aceh sejak awal kemasukan Islam. Mereka diberikan penghormatan sebagai tokoh agama, hakim, pengajar bahkan terkadang sebagai pemimpin masyarakat dan pemegang admnistratur pemerintahan. Sejarah Aceh sendiri telah membuktikan bahwa Kesultanan Aceh pernah dipimpin oleh beberapa orang Sultan dari keturunan Rasulullah, seperti Sultan Badrul Alam dan lainnya. Namun Snouck sendiri menggambarkan para Sayyid dan Habib sebagai tokoh yang ambisius dan eksploitatif akibat kedengkiannya kepada Islam dan dorongan tugasnya sebagai agen Kerajaan Belanda yang akan menaklukkan Aceh Darussalam. Itulah sebabnya tidak mengherankan ketika dia menggambarkan Habib Abdurrahman Al-Zachir sebagai tokoh penghianat dan materialis yang rela menjual Aceh dan masyarakatnya kepada penjajah kafir, yang tidak pernah menjadi tradisi mulia dari keturunan Rasulullah saw apalagi sebagai seorang Habib yang mengerti dan faham akan ajaran agama.[10]
Sejak pertama kali berdirinya Kerajaan Islam di Aceh, baik di Jeumpa, Pasai, Perlak dan Kesultanan Aceh Darussalam dan selanjutnya, hubungan para Sultan dengan para keturunan Rasulullah terjalin dengan eratnya. Para Habib biasanya diberi tugas sebagai penasihat agama dan spiritual para Sultan, bahkan ada yang diangkat sebagai panglima, mangkubumi, sekretaris negara dan menteri luar negeri. Namun hubungan yang berdasarkan kepada keagamaanlah yang lebih dominan. Kedekatan para Sultan dan para Habib dapat juga dibuktikan dengan kedekatan para Sultan dengan para Syarief Mekkah yang dijadikan sebagai pemegang otoritas keagamaan atau sumber rujukan kepada masalah-masalah agama. Kedekatan antara Mekkah dengan Sultan dibuktikan dalam sejarah, ketika Sultan Iskandar Muda membuat peraturan keimigrasan di Banda Aceh (Kuta Raja) sebagaimana peraturan keimigrasian di Mekkah, bahwa orang non Muslim tidak diperbolehkan menetap tinggal di Bandar Aceh, kecuali hanya beberapa saat ketika mereka berdagang dan setelah selesai diperintahkan meninggalkan Banda Aceh atau bermalam di kapalnya.[11]
Dari waktu ke waktu Syarief Mekkah akan mengirimkan para Ulama dan Habib ke Aceh untuk mengajarkan agama kepada pemimpin dan masyarakat Aceh. Puncak hubungan ini terjadi utamanya ketika masyarakat Aceh mengalami perselisihan internal keagamaan yang memerlukan keputusan seorang figur yang kuat sebagai mufti atau qadhi. Diriwayatkan dalam Sejarah Melayu, bahwa pada pertengahan abad ke 13 Masehi, Syarief Mekkah telah mengirim Syekh Ismail dengan beberapa guru agama, untuk melakukan dakwah Islam di kawasan Aceh. Dalam rombongan tersebut turut juga Fakir Muhammad dari India.[12] Ketika terjadi perselisihan antara para pengikut Syamsuddin al-Sumatrani dengan Nuruddin al-Raniri yang berkelanjutan di zaman Maulana Syiah Kuala, Syarief Mekkah telah mengirim beberapa orang Ulama dan Habib yang ditugaskan untuk mendamaikan perselisihan faham yang tejadi. Mereka telah berhasil menciptakan pemahaman agama yang toleran dan moderat.[13]
Pada masa Iskandar Tsani (1637-1641) telah datang seorang Habib kharismatis yang menjadi pembimbing dan pendidik masyarakat Aceh yang menjadi utusan Syarief Mekkah bernama Habib Abu Bakar bin Husein Balfaqih (w.1100 H / 1680 M) yang bergelar Habib Dianjung yang terkenal dan dihormati Sultan dan masyarakat Aceh yang maqamnya di Peulanggahan Banda Aceh. Masih banyak lagi nama-nama para Habib, Syarief ataupun Sayyid yang tidak tercatat dalam sejarah masyarakat Aceh, terutama dalam mengembangkan ajaran Islam ataupun dalam membangun peradaban dan budaya masyarakat. [14]
D. Situasi Umum Aceh Sebelum Kedatangan Habib Abdurrahman Sekitar Abad 17
Kesultanan Aceh Darussalam didirikan oleh Sultan Ali Mughayat Syah (1514-1530) dan mengalami kegemilangan puncaknya pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda pada tahun 1607 sampai 1636, dimana wilayah kekuasaannya meliputi hampir seluruh wilayah Aceh sampai ke Johor, Pahang dan Kedah di Semenanjung Malaya. Kesultanan Aceh menjadi sentra kekuatan Nusantara yang diperhitungan, pengekspor beras, tempat persinggahan kapal-kapal asing dan yang paling penting sebagai pusat penyebaran Islam di Asia Tenggara. Dengan kemakmuran yang dicapai, masyarakat Aceh menjadi salah satu masyarakat yang berperadaban dan berbudaya maju.[15] Beaulieu mencatat jumlah pasukan darat Kesultanan Aceh sekitar 40 ribu orang, memiliki armada laut sekitar 100-200 kapal, diantaranya kapal selebar 30 meter dengan awak 600-800 orang yang dilengkapi tiga meriam.[16] Di zaman ini pemikiran dan peradaban Islam berkembang secara maksimal dibawah bimbingan ulama besar Syekh Samsuddin Al-Sumatrani sebagai mufti yang bergelar Syekh Islam. Beliau adalah murid ulama besar Hamzah Fansuri.[17]
Setelah kemangkatan Sultan Iskandar Muda, mulai terjadi kemunduran dalam kesultanan Aceh, terutama sejak pemerintahan dipegang oleh menantu beliau, Sultan Iskandar Tsani (1636-1641). Menurut sebagian peneliti, diantara penyebab kemunduran ini adalah karena diangkatnya seorang ulama asal India, Syekh Nuruddin al-Raniri sebagai Mufti dan Qadhi al-Malik al-Adil, yang dianggap kurang toleransi dalam menjalankan aliran keagamaan pada masyarakat sehingga menimbulkan konflik internal di kalangan masyarakat Aceh. Dia menfatwakan bahwa aliran Wahdatul Wujud yang diajarkan oleh Hamzah al-Fansuri dan kemudian dilanjutkan oleh Syamsuddin al-Sumatrani adalah sesat. Karena itu ajaran ini dilarang dan pengikutnya yang tidak mau bertaubat dan mengikuti faham al-Raniri dibunuh. Kitab-kitab karangan Hamzah Fansuri dan para ulama yang selama ini telah menjadi pegangan umum masyarakat Aceh yang telah mengantarkan mereka menuju kegemilangan peradaban di bakar di depan Masjid Raya Baiturrahman. Sikap intoleransi al-Raniri ini telah menimbulkan perpecahan besar pada masyarakat Aceh, bahkan sikap saling curiga dan saling benci yang sudah sampai pada tingkat pembunuhan.[18]
Perbedaan pendapat dalam menafsirkan ajaran Islam yang diikuti dengan sikap tidak toleransi yang dilakukan al-Raniri dan para pengikutnya telah menimbulkan kepanikan dan konflik horizontal di tengah masyarakat luas sampai di kalangan para pembesar dan ulama yang melemahkan roda pemerintahan Kesultanan Aceh.[19] Pada saat yang sama Sultan Iskandar Tsani memiliki kepemimpinan yang dianggap lemah dibandingkan dengan pendahulunya Sultan Iskandar Muda, yang tidak dapat mengendalikan keadaan dengan bijaksana.[20] Perpecahan masyarakat Aceh, utamanya kalangan istana, berawal dari dataran perbedaan teologis yang non kompromis telah menimbulkan kemunduran demi kemunduran, baik dalam bidang ekonomi, sosial sampai kepada tingkat pemikiran dan pengembangan peradaban Islam.[21]
Keadaan mulai membaik ketika Sultanah Tajul Alam Safiatuddin (1641-1675) istri dan pengganti Sultan Iskandar Tsani menetapkan Syekh Abdul Rauf al-Singkili yang dikenal dengan Maulana Syiah Kuala sebagai Mufti dan Qadhi al-Malik al-Adil. Karena beliau adalah seorang yang sangat alim dan memiliki toleransi yang besar dalam menjalankan aliran keagamaan yang selama ini menjadi ruh penggerak masyarakat Aceh. Beliau memahami benar sumber kekuatan masyarakat Aceh, persatuan yang tumbuh dari toleransi menjalankan faham keagamaan. Itulah sebabnya ketika ditanya tentang aliran para ulama pendahulunya Fansuri dan al-Sumatrani, al-Singkili menjawab dengan sangat bijak yang membawa persatuan kembali masyarakat Aceh. Beradasarkan fatwa gurunya, Syeikh Ibrahim al-Quruni, beliau menetapkan bahwa umat Islam dilarang mengkafirkan sesama muslim, karena akibatnya bila orang lain tidak kafir maka orang tersebut akan menjadi kafir. Ketinggian dan pemahaman keislaman al-Singkili diakui oleh para ulama yang menjadi utusan Syarief Mekkah yang datang pada zaman Sultanah Zakiyyat al-Din, yang memperkenankan kepemimpinan wanita atas dukungan fatwa Maulana Syiah Kuala. Setelah kemangkatan beliau, barulah Syarief Mekkah menurunkan fatwa tentang keharaman pemimpin wanita dan mengganti Sultanah Kamalatsyah dengan suaminya, Sultan Badrul Alam tahun 1699.[22] Pada masa ini pula sudah datang seorang Habib kharismatis yang menjadi pembimbing dan pengajar masyarakat Aceh, terutama sebagai rujukan para pemimpinnya. Beliau dikenal dengan julukan Habib Dianjung, yang berarti Habib Maha Guru yang disanjung. Ada juga yang menafsirkan gelar beliau diberikan karena beliau membuka pengajaran agama di sekitar anjungan istana sultan. Nama asli beliau adalah Habib Abu Bakar bin Husein Balfaqih yang wafat pada tahun 1100 H (1680an) dan dimaqamkan di Banda Aceh.[23]
Fatwa Syarief Mekkah telah mengantarkan Sultan Badrul Kamal Sayyid Ibrahim Habib Jamaluddin Syarif Hasyim Syah Jamalullayl (1699-1707) sebagai Sultan Aceh yang mengawali dipimpinnya Kesultanan Aceh oleh keturunan para Sayyid atau keturunan Rasulullah saw sampai dengan hampir 30 tahun, yang berakhir pada tahun 1726.[24] Peranan para Uleebalang yang berasal dari bekas raja-raja yang menguasai kerajaan-kerajaan kecil sebelum terbentuknya konfederasi Kerajaan Aceh Darussalam pada abad ke-XVI sangat menentukan kembali. Sejak awal peranan Syarief Mekkah sangat besar dalam pemerintahan Kesultanan Aceh, yang sebelumnya memang menjadi rujukan dari para Mufti yang mendampingi Sultan.[25] Sepanjang 30 tahun pemerintahan yang didukung oleh Ulama Mekkah ini tidak mampu menaikkan citra kegemilangan Kesultanan Aceh kembali. Namun prestasi utama para Sultan adalah keseriusan mereka dalam proses Islamisasi Nusantara sehingga menjadikannya sebagai salah satu bangsa yang mayoritas memeluk Islam.[26]
Kenaikan kembali keturunan garis Sultan asal Pasai dari keturunannya di Bugis, Sultan Alauddin Ahmad Shah (Maharaja Lela Melayu) pada 1735 telah menimbulkan kegusaran dari keturunan para Sayyid, terutama keturunan dari garis Sultan yang selama ini memegang kendali Kesultanan Aceh. Pergantian kepemimpinan ini dikhawatirkan dapat menimbulkan perang saudara dan pembantaian terhadap keluarga Sultan sebelumnya. Karena bersamaan pada saat itu kaum Imperialis-kolonialis Barat kaphe sedang mencari-cari cara untuk masuk menaklukkan Aceh dan telah mempersiapkan strategi pecah belah di antara Sultan dan kekuatan politik lainnya dengan berbagai provokasi. Maka para tokoh Sayyid di Aceh meminta Syarief Mekkah yang masih memiliki otoritas keagamaan atas Aceh agar mengirim Habib dan Ulama yang dapat membawa kedamaian dan rekonsiliasi di Aceh. Syarief Mekkah mengutus beberapa orang Habib dan Ulama yang diharapkan mampu memberikan bimbingan dan pengajaran kepada masyarakat Aceh yang membawa kedamaian dan persatuan. Maka datanglah ke Banda Aceh setelah mangkatnya Habib Dianjung, atau pada sekitar awal abad ke 18 Masehi yang terus datang secara bergelombang mengingat keadaan Aceh yang sedang dicekam dan diambang perang saudara. Bahkan sebagian para ahli sejarah menganggap masa ini sebagai periode perang saudara Aceh.[27]
Mengingat peristiwa yang krusial ini, yang ditambah dengan tantangan eksternal penjajah kafir yang mau menguasai Aceh, maka Syarief Mekkahpun telah mengutus beberapa Habib dan Ulama dengan berbagai latar belakang pengetahuannya, baik dalam bidang pengajaran agama, administrasi pemerintahan sampai kepada strategi perang. Di antara rombongan utusan Syarief Mekkah tersebut adalah Habib Abdurrahman bin Alwi Al-Habsyi yang kemudian dikenal dengan Habib Teuku Chik Monklayu, yang juga dikenal dengan Habib Bugak Aceh, karena tinggal dan dimaqamkan di Pante Sidom, Bugak, Bireuen.[28]
Aceh adalah salah satu kawasan di wilayah dunia Islam yang senantiasa mendapat perhatian sejak dahulu kala sebagai pusat pertemuan budaya dan peradaban dunia. Letak strategis geografi Aceh di ujung barat pulau Sumatra telah menjadikanya sebagai wilayah lintasan peradaban dan budaya besar dunia yang dibuktikan dengan penemuan situs ataupun barang peninggalan dari budaya purbakala, Hindu, Budha maupun Islam. Sementara masyarakat Aceh adalah asimilasi dari masyarakat berperadaban tua, makanya Aceh akronim dari Arab, Cina, Eropah dan Hindia, yang merupakan perwakilan etnis terbesar umat manusia. Bukti-bukti terbaru menunjukkan bahwa masyarakat Aceh telah berinteraksi dan berhubungan dengan dunia Arab, terutama Mesir sejak zaman Fir’aun kira-kira 2000 tahun sebelum Masehi. Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya beberapa jenis bahan pengawet mummi Fir’aun Mesir, diantaranya kafuuro atau kapur barus yang terdapat di sekitar Aceh. Bahkan tidak diragukan bahwa Barus yang dimaksud adalah di Lamuri wilayah Aceh Besar. Claudius Ptolemaeus, ahli ilmu bumi klasik dari Mesir menyebut nama ”Barousai” sebagai negeri yang terletak di pinggir jalan menuju Tiongkok.[1]
Dengan adanya hubungan masyarakat Aceh sejak 2000 sebelum Masehi lalu dengan Mesir, maka tidak mengherankan ketika nabi Muhammad saw membawa Islam pada awal abad ke 7 Masehi, langsung tersebar di kalangan para pedagang Nusantara Aceh yang memang sudah berhubungan melalui rute perdagangan di antara pelabuhan Yaman dan Hijaz Semenanjung Arabia. Dalam beberapa riwayat dari shahabat Nabi disebutkan sebuah bangsa dari sebelah timur yang bersama-sama berperang dan menyebarkan Islam. Penyebaran Islam secara langsung dilakukan para pedagang Nusantara-Aceh dan dilanjutkan dengan pengiriman misi dakwah dan perdagangan sejak zaman pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab. Demikian pula halnya ketika keturunan bani Umayyah, terutama sejak Yazid bin Muawiyah melakukan pembantaian terhadap keturunan Sayyidina Husein ra, maka perpindahan keturunan Nabi saw dan ulama-ulama yang setia padanya semakin banyak ke Nusantara, terutama Aceh yang terletak paling Barat dan karena masyarakatnya sudah menerima dan memeluk ajaran Islam. Tidak diragukan bahwa Islamisasi Nusantara, termasuk penaklukan kerajaan terbesar Jawa-Hindu, Majapahit, dirancang dan digerakkan dari Aceh silih berganti sejak awal abad VIII Masehi berpusat di Jeumpa, Pasai, Perlak dan lainnya bibawah pimpinan sultan-sultan Islam yang merupakan mata rantai gerakan Islamisasi dunia yang menjadikan Makkah al-Mukarramah sebagai porosnya yang mendapat dukungan penuh para Khalifah Islam turun temurun.[2]
Kegemilangan peradaban masyarakat Aceh yang telah berkembang pesat sebelumnya telah memudahkan para pembawa Islam untuk memajukannya secara maksimal. Hal ini mengantarkan masyarakat Aceh sebagai bagian dari pergerakan internasional pembebasan umat manusia dari belenggu kegelapan yang membawanya sebagai masyarakat berperadaban tinggi berdasarkan nilai-nilai keuniversalan dan keagungan Islam. Dalam Bustanu’l Salatin, Syekh Nuruddin telah menggambarkan bagaimana tingginya pengetahuan dan pemikiran masyarakat Aceh, baik di kalangan para sultan, pejabat negara sampai kepada masyarakat umum sehingga banyak ulama yang datang ke Aceh harus kembali belajar agar cukup pengetahuannya untuk mengajar. Itulah sebabnya para pemuka Islam menjuluki Aceh sebagai “Serambi Mekkah”, sebagai satu-satunya serambi Mekkah di dunia, yang tidak lain bermakna sebenarnya adalah karena Aceh telah menjadi pusat rujukan ajaran dan fatwa Islam di Nusantara. Tradisi dan peradaban Islam di Aceh sudah berkembang pesat dan bahkan para ulama dan cerdik pandainya memiliki kaliber yang sederajad dengan para ulama Hijaz dan semenanjung Arabia lainnya. Kasus ini dapat dilihat pada diamnya (tawaquf) ulama-ulama Hijaz di Mekkah atas kepemimpinan wanita selama lebih 50 tahun pemerintahan 4 orang Sultanah Aceh atas dukungan fatwa Mufti dan Qadhi Malik al-Adhil, Syekh Abdul Rauf al-Singkili (Maulana Syiah Kuala). Hal ini tidak lain untuk mengormati ijtihad beliau yang didasarkan pada pengetahuan mendalam dan luas terhadap ajaran Islam. Setiap utusan Syarief Mekkah yang datang kepada beliau harus mengakui ketinggian ilmunya serta kesahihan ijtihad dan fatwanya sehingga hujjahnya tak terpatahkan. Namun setelah beliau wafat, maka Ketua Mufti Mekkah mengeluarkan fatwa yang memakzulkan (memberhentikan) Sultanah Kamalat Ziatuddinsyah pada 1699 dengan hujjah bahwa syari’at Islam tidak membenarkan perempuan menjadi pemimpin negara.[3]
Pemikir Islam kontemporer Ismail R. Faruqi[4] menjuluki muslim nusantara, terutama pejuang Aceh sebagai "One of the oldest and bloodiest struggle of the Muslims have waged against Christian-Colonialist aggression". Salah satu rumpun bangsa yang paling tertua dan paling berdarah diantara bangsa Muslim dalam menentang agresi kaum Kristen-Kolonialis. Karena realitas sejarah membuktikan hampir 500 tahun lebih masyarakat Muslim Aceh dibawah kepemimpinan para Sultan berperang silih berganti melawan kaum Imprialis-Kolonialis ”kaphe” yang hendak menjajah Aceh. Dengan gagah perkasa dan senjata apa adanya mereka bangkit melawan tentara-tentara Salib dari Portugis maupun Belanda yang telah memiliki persenjataan modern pada masa itu.[5]
Aceh dengan segala kegemilangan sejarah peradabannya sejak dahulu kala telah melahirkan tokoh-tokoh berkaliber dunia pada bidangnya masing-masing. Nama-nama besar dari Aceh telah menghiasi perjalanan sejarah umat manusia, diantaranya seperti Sultan Malikus Saleh, Sultan Iskandar Muda, Hamzah Fansuri, Syamsuddin al-Sumatrani, Nuruddin Ar-Raniri, Ratu Safiatuddin, Maulana Syiah Kuala, Laksamana Malahayati, Tgk. Chik Di Tiro, Teuku Umar, Cut Nya’ Dhien dan lain-lainnya.[6]
B. Tujuan Penelitian
Berdasarkan beberapa dokumen resmi yang dikeluarkan Kesultanan Aceh Darussalam bertahun antara 1206 H (1785 M) sampai 1289 H (1870 M), diketahui bahwa Habib Abdurrahman bin Alwi bin Syekh Al-Habsyi adalah salah seorang tokoh Aceh yang memiliki peranan penting dalam sejarah rekonsiliasi masyarakat Aceh. Terutama saat terjadinya ketegangan yang timbul pada awal abad ke 18 Masehi, akibat lain dari pemberhentian Sultanah Kamalat Ziatuddinsyah pada tahun 1699 yang digantikan oleh suaminya Sultan Badrul Alam Sayyid Ibrahim Syarif Hasyim Jamaluddin Syah Jamalullayl (1699-1702) atas fatwa dari Ketua Mufti Syarief Mekkah setelah wafatnya Mufti-Qadhi Malikul Adil Maulana Syiah Kuala. Fatwa ini telah mengantarkan para Sayyid (keturunan Nabi Muhammad saw) sebagai Sultan Aceh selama hampir 30 tahun. Naiknya kembali keturunan garis Sultan asal Pasai dari keturunannya di Bugis, Sultan Alaidin Ahmad Shah (1733) dan para pelanjutnya telah menimbulkan kegusaran dan ketakutan dari keturunan para sayyid, terutama keturunan dari garis Sultan yang dikhawatirkan dapat menimbulkan pembantaian. Apalagi pada saat itu, tokoh kharismatis dari kalangan Habib belum ada yang setaraf dengan Habib Abu Bakar Balfaqih (Habib Dianjung), wafat pada tahun 1680an, sementara belum ada Habib menggantikan kedudukan beliau yang dihormati serta disegani oleh masyarakat Aceh, baik kalangan istana, ulama dan masyarakat luas. Bersamaan pada saat itu kaum Imperialis-kolonialis Barat kaphe sedang mencari-cari cara untuk masuk menaklukkan Aceh dan telah mempersiapkan strategi pecah belah di antara Sultan dan kekuatan politik lainnya dengan berbagai provokasi. Maka para tokoh sayyid di Aceh meminta Syarief Mekkah yang masih memiliki otoritas keagamaan atas Aceh agar mengirim para tokoh kharismatis, Habib dan Ulama yang dapat membawa kedamaian dan rekonsiliasi masyarakat Aceh. Di antara utusan yang datang dari Mekkah adalah Habib Abdurrahman bin Alwi Al-Habsyi yang kemudian dikenal dengan Habib Teuku Chik Monklayu, yang juga dikenal dengan Habib Bugak Aceh, karena beliau tinggal serta maqamnya di Pante Sidom, Bugak, Bireuen.
Namun sampai saat ini belum banyak yang mengetahui sejarah kehidupan Habib Abdurrahman Al-Habsyi Bugak. Demikian pula belum ditemukan literatur yang memuat sejarah hidup, perjuangan dan kiprah beliau dalam masyarakat Aceh. Adalah sebuah keniscayaan sejarah untuk mengungkap jatidiri Habib Abdurrahman Al-Habsyi yang dikenal masyarakat sebagai Habib Bugak. Selain untuk (i) kepentingan wawasan dan khazanah ilmu pengetahuan bagi generasi Aceh, (ii) adalah penting juga untuk mengungkap sejauh mana peranan para Habib dalam sejarah peradaban Aceh sebagai tauladan kepada keturunannya dalam membangun kembali kegemilangan Aceh. (iii) Hal ini juga sangat diperlukan oleh masyarakat untuk menjaga kesimpangsiuran informasi yang berkembang. Karena banyak para peziarah yang ingin mengunjungi maqam Habib Bugak sebagai ungkapan rasa hormat atas perjuangan dan jasa beliau pada masyarakat Aceh, namun mereka belum mendapat kepastian dari para ulama dan cendekiawan kita. (iv) Rasulullah saw memberikan anjuran kepada kaum Muslim untuk menghormati dan mentauladani generasi terdahulu yang telah memberikan manfaat kepada masyarakatnya, dan bagaimana mungkin dapat ditauladani jika identitas dan sejarah hidupnyapun belum diketahui.
Menurut pandangan agama, Habib Abdurrahman Al-Habsyi Bugak termasuk hamba dan wali Allah yang mendapat kehormatan dan kemulyaan Allah (karamah). Selain beliau seorang Habib keturunan Nabi Muhammad saw, beliau adalah seorang ulama faqih, sufi dan seorang bentara-laksamana serta pemimpin masyarakat yang dipercaya oleh Sultan Aceh sebagai Teuku Chik yang kekuasaannya terbentang dari desa-desa di sekitar Jeumpa, Peusangan, Monklayu, Bugak sampai Cunda dan Nisam sebagaimana yang dituangkan dalam surat keputusan Sultan Mahmudsyah pada surat bertahun 1224 H (1800 M). Kedudukan beliau telah mengantarkannya sebagai salah seorang hartawan yang memiliki tanah pertanian luas serta menguasai jalur laut, namun kesolehan dan kesufiannyanya telah menjadikan beliau sebagai dermawan yang sangat mudah membantu masyarakat sebagai tradisi keluarga Nabi (ahl al-Bayt). Dikabarkan beliau banyak berinfak dan bersedekah kepada masyarakat sekitarnya, bahkan karena kecintaannya kepada Aceh yang telah memberikan keutamaan dan nikmat besar, beliau rela tidak kembali ke tanah kelahirannya di Makkah al-Mukarramah dan mewakafkan seluruh harta warisannya di Mekkah untuk kepentingan masyarakat Aceh. Dan amal saleh yang diwaqafkannya berkembang berlipat-lipat bahkan memberikan manfaat yang terus berdampak besar kepada masyarakat Aceh. Maka mentauladani amalannya adalah sesuatu hal yang diharapkan dapat mendekatkan diri kepada Allah serta mendapat kemulian dari-Nya sebagaimana yang telah diberikan Allah SWT kepada Habib Bugak.
Jadi penelitian dan penelusuran awal ini bertujuan utamanya untuk mengenal secara pasti jatidiri serta sejarah hidup Habib Abdurrahman Al-Habsyi Bugak dari berbagai sumber rujukan yang dapat dipertanggungjawabkan keabsahannya secara ilmiyah. Disamping itu untuk mengungkap peranan keturunan Rasulullah (Habib) dalam sejarah peradaban masyarakat Aceh, sekaligus untuk mengungkap beberapa fakta sejarah yang belum tertulis dalam sejarah Aceh modern.
C. Peranan Sayyid dan Habib Dalam Masyarakat Aceh
Sayyid atau Habib adalah gelar yang diberikan kepada para keturunan Rasulullah dari keturunan Sayyidina Husein bin Ali ataupun dari keturunan Sayyidina Hasan bin Ali, biasa juga disebut dengan Syarief. Gelar Habib biasanya hanya diberikan kepada para pemuka atau tokoh yang telah lanjut usia dan memiliki pengetahuan serta keistimewaan dalam masyarakatnya. Biasanya para Habib adalah seorang tokoh yang berpengaruh serta memiliki pengetahuan luas yang dijadikan pemimpin keagamaan yang memiliki otoritas keagamaan kepada masyarakat muslim. Disamping memiliki kharisma yang besar, biasanya juga memiliki kelebihan-kelebihan supra-natural atau secara spiritual. Boleh dikata bahwa Habib adalah para pemuka atau Ulama dikalangan para sayyid ataupun syarief.
Para peneliti telah membuktikan bahwa para Sayyid atau Habib memiliki peran yang sangat penting dalam pengembangan Islam di Nusantara sejak awal kedatangannya. Terutama setelah terjadinya eksodus besar-besaran para keturunan Rasulullah dari Dunia Arab atau Parsia akibat konflik dan perang saudara yang terjadi dengan keturunan dari Dinasti Bani Umayyah atau Abbasyiah pada awal abad VIII Masehi. Karena memiliki garis keturunan dengan Rasulullah saw, berpengetahuan luas, memiliki kemampuan menggalang pengikut setia, memobilisasi dana serta kecakapan adminstrasi dan kepemimpinan, maka banyak diantaranya yang menjadi menantu para raja dan selanjutnya menggantikan kedudukannya sebagai Sultan.
Apalagi ada sebagian faham, terutama faham awal masyarakat Nusantara telah mewajibkan memberi penghormatan kepada para keturunan Rasulullah berdasarkan sebuah sabda beliau: ”Aku tinggalkan kepadamu dua perkara, yang jika engkau berpegang kepada keduanya, maka engkau tidak akan sesat selama-lamanya, yaitu Kitab Allah (al-Qur’an dan Sunnah) dan Keturunanku”.[7] Dalam riwayat lain, Rasulullah saw bersabda: ”Aku tinggalkan bagi kalian dua hal. Jika kalian berpegang teguh kepada keduanya, kalian pasti tidak akan pernah tersesat. Salah satu dari dua hal itu lebih agung daripada yang lain; Kitabullah, sebuah tali yang terentang dari langit ke bumi; dan keturunanku, ahlul-baitku. Keduanya tidak akan terpisah satu sama lain hingga hari Kiamat nanti. Maka, pikirkanlah baik-baik bagaimana kalian akan berpegang teguh kepada keduanya setelah aku pergi.” Itulah sebabnya para keturunan Rasulullah saw selalu mendapat kedudukan terhormat dalam strata masyarakat di Nusantara, termasuk di Aceh.[8]
Menurut penelitian Snouck[9], para keturunan Rasulullah yang dipanggil Sayyid, Syarief atau Habib memiliki kedudukan terhormat di kalangan masyarakat Aceh sejak awal kemasukan Islam. Mereka diberikan penghormatan sebagai tokoh agama, hakim, pengajar bahkan terkadang sebagai pemimpin masyarakat dan pemegang admnistratur pemerintahan. Sejarah Aceh sendiri telah membuktikan bahwa Kesultanan Aceh pernah dipimpin oleh beberapa orang Sultan dari keturunan Rasulullah, seperti Sultan Badrul Alam dan lainnya. Namun Snouck sendiri menggambarkan para Sayyid dan Habib sebagai tokoh yang ambisius dan eksploitatif akibat kedengkiannya kepada Islam dan dorongan tugasnya sebagai agen Kerajaan Belanda yang akan menaklukkan Aceh Darussalam. Itulah sebabnya tidak mengherankan ketika dia menggambarkan Habib Abdurrahman Al-Zachir sebagai tokoh penghianat dan materialis yang rela menjual Aceh dan masyarakatnya kepada penjajah kafir, yang tidak pernah menjadi tradisi mulia dari keturunan Rasulullah saw apalagi sebagai seorang Habib yang mengerti dan faham akan ajaran agama.[10]
Sejak pertama kali berdirinya Kerajaan Islam di Aceh, baik di Jeumpa, Pasai, Perlak dan Kesultanan Aceh Darussalam dan selanjutnya, hubungan para Sultan dengan para keturunan Rasulullah terjalin dengan eratnya. Para Habib biasanya diberi tugas sebagai penasihat agama dan spiritual para Sultan, bahkan ada yang diangkat sebagai panglima, mangkubumi, sekretaris negara dan menteri luar negeri. Namun hubungan yang berdasarkan kepada keagamaanlah yang lebih dominan. Kedekatan para Sultan dan para Habib dapat juga dibuktikan dengan kedekatan para Sultan dengan para Syarief Mekkah yang dijadikan sebagai pemegang otoritas keagamaan atau sumber rujukan kepada masalah-masalah agama. Kedekatan antara Mekkah dengan Sultan dibuktikan dalam sejarah, ketika Sultan Iskandar Muda membuat peraturan keimigrasan di Banda Aceh (Kuta Raja) sebagaimana peraturan keimigrasian di Mekkah, bahwa orang non Muslim tidak diperbolehkan menetap tinggal di Bandar Aceh, kecuali hanya beberapa saat ketika mereka berdagang dan setelah selesai diperintahkan meninggalkan Banda Aceh atau bermalam di kapalnya.[11]
Dari waktu ke waktu Syarief Mekkah akan mengirimkan para Ulama dan Habib ke Aceh untuk mengajarkan agama kepada pemimpin dan masyarakat Aceh. Puncak hubungan ini terjadi utamanya ketika masyarakat Aceh mengalami perselisihan internal keagamaan yang memerlukan keputusan seorang figur yang kuat sebagai mufti atau qadhi. Diriwayatkan dalam Sejarah Melayu, bahwa pada pertengahan abad ke 13 Masehi, Syarief Mekkah telah mengirim Syekh Ismail dengan beberapa guru agama, untuk melakukan dakwah Islam di kawasan Aceh. Dalam rombongan tersebut turut juga Fakir Muhammad dari India.[12] Ketika terjadi perselisihan antara para pengikut Syamsuddin al-Sumatrani dengan Nuruddin al-Raniri yang berkelanjutan di zaman Maulana Syiah Kuala, Syarief Mekkah telah mengirim beberapa orang Ulama dan Habib yang ditugaskan untuk mendamaikan perselisihan faham yang tejadi. Mereka telah berhasil menciptakan pemahaman agama yang toleran dan moderat.[13]
Pada masa Iskandar Tsani (1637-1641) telah datang seorang Habib kharismatis yang menjadi pembimbing dan pendidik masyarakat Aceh yang menjadi utusan Syarief Mekkah bernama Habib Abu Bakar bin Husein Balfaqih (w.1100 H / 1680 M) yang bergelar Habib Dianjung yang terkenal dan dihormati Sultan dan masyarakat Aceh yang maqamnya di Peulanggahan Banda Aceh. Masih banyak lagi nama-nama para Habib, Syarief ataupun Sayyid yang tidak tercatat dalam sejarah masyarakat Aceh, terutama dalam mengembangkan ajaran Islam ataupun dalam membangun peradaban dan budaya masyarakat. [14]
D. Situasi Umum Aceh Sebelum Kedatangan Habib Abdurrahman Sekitar Abad 17
Kesultanan Aceh Darussalam didirikan oleh Sultan Ali Mughayat Syah (1514-1530) dan mengalami kegemilangan puncaknya pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda pada tahun 1607 sampai 1636, dimana wilayah kekuasaannya meliputi hampir seluruh wilayah Aceh sampai ke Johor, Pahang dan Kedah di Semenanjung Malaya. Kesultanan Aceh menjadi sentra kekuatan Nusantara yang diperhitungan, pengekspor beras, tempat persinggahan kapal-kapal asing dan yang paling penting sebagai pusat penyebaran Islam di Asia Tenggara. Dengan kemakmuran yang dicapai, masyarakat Aceh menjadi salah satu masyarakat yang berperadaban dan berbudaya maju.[15] Beaulieu mencatat jumlah pasukan darat Kesultanan Aceh sekitar 40 ribu orang, memiliki armada laut sekitar 100-200 kapal, diantaranya kapal selebar 30 meter dengan awak 600-800 orang yang dilengkapi tiga meriam.[16] Di zaman ini pemikiran dan peradaban Islam berkembang secara maksimal dibawah bimbingan ulama besar Syekh Samsuddin Al-Sumatrani sebagai mufti yang bergelar Syekh Islam. Beliau adalah murid ulama besar Hamzah Fansuri.[17]
Setelah kemangkatan Sultan Iskandar Muda, mulai terjadi kemunduran dalam kesultanan Aceh, terutama sejak pemerintahan dipegang oleh menantu beliau, Sultan Iskandar Tsani (1636-1641). Menurut sebagian peneliti, diantara penyebab kemunduran ini adalah karena diangkatnya seorang ulama asal India, Syekh Nuruddin al-Raniri sebagai Mufti dan Qadhi al-Malik al-Adil, yang dianggap kurang toleransi dalam menjalankan aliran keagamaan pada masyarakat sehingga menimbulkan konflik internal di kalangan masyarakat Aceh. Dia menfatwakan bahwa aliran Wahdatul Wujud yang diajarkan oleh Hamzah al-Fansuri dan kemudian dilanjutkan oleh Syamsuddin al-Sumatrani adalah sesat. Karena itu ajaran ini dilarang dan pengikutnya yang tidak mau bertaubat dan mengikuti faham al-Raniri dibunuh. Kitab-kitab karangan Hamzah Fansuri dan para ulama yang selama ini telah menjadi pegangan umum masyarakat Aceh yang telah mengantarkan mereka menuju kegemilangan peradaban di bakar di depan Masjid Raya Baiturrahman. Sikap intoleransi al-Raniri ini telah menimbulkan perpecahan besar pada masyarakat Aceh, bahkan sikap saling curiga dan saling benci yang sudah sampai pada tingkat pembunuhan.[18]
Perbedaan pendapat dalam menafsirkan ajaran Islam yang diikuti dengan sikap tidak toleransi yang dilakukan al-Raniri dan para pengikutnya telah menimbulkan kepanikan dan konflik horizontal di tengah masyarakat luas sampai di kalangan para pembesar dan ulama yang melemahkan roda pemerintahan Kesultanan Aceh.[19] Pada saat yang sama Sultan Iskandar Tsani memiliki kepemimpinan yang dianggap lemah dibandingkan dengan pendahulunya Sultan Iskandar Muda, yang tidak dapat mengendalikan keadaan dengan bijaksana.[20] Perpecahan masyarakat Aceh, utamanya kalangan istana, berawal dari dataran perbedaan teologis yang non kompromis telah menimbulkan kemunduran demi kemunduran, baik dalam bidang ekonomi, sosial sampai kepada tingkat pemikiran dan pengembangan peradaban Islam.[21]
Keadaan mulai membaik ketika Sultanah Tajul Alam Safiatuddin (1641-1675) istri dan pengganti Sultan Iskandar Tsani menetapkan Syekh Abdul Rauf al-Singkili yang dikenal dengan Maulana Syiah Kuala sebagai Mufti dan Qadhi al-Malik al-Adil. Karena beliau adalah seorang yang sangat alim dan memiliki toleransi yang besar dalam menjalankan aliran keagamaan yang selama ini menjadi ruh penggerak masyarakat Aceh. Beliau memahami benar sumber kekuatan masyarakat Aceh, persatuan yang tumbuh dari toleransi menjalankan faham keagamaan. Itulah sebabnya ketika ditanya tentang aliran para ulama pendahulunya Fansuri dan al-Sumatrani, al-Singkili menjawab dengan sangat bijak yang membawa persatuan kembali masyarakat Aceh. Beradasarkan fatwa gurunya, Syeikh Ibrahim al-Quruni, beliau menetapkan bahwa umat Islam dilarang mengkafirkan sesama muslim, karena akibatnya bila orang lain tidak kafir maka orang tersebut akan menjadi kafir. Ketinggian dan pemahaman keislaman al-Singkili diakui oleh para ulama yang menjadi utusan Syarief Mekkah yang datang pada zaman Sultanah Zakiyyat al-Din, yang memperkenankan kepemimpinan wanita atas dukungan fatwa Maulana Syiah Kuala. Setelah kemangkatan beliau, barulah Syarief Mekkah menurunkan fatwa tentang keharaman pemimpin wanita dan mengganti Sultanah Kamalatsyah dengan suaminya, Sultan Badrul Alam tahun 1699.[22] Pada masa ini pula sudah datang seorang Habib kharismatis yang menjadi pembimbing dan pengajar masyarakat Aceh, terutama sebagai rujukan para pemimpinnya. Beliau dikenal dengan julukan Habib Dianjung, yang berarti Habib Maha Guru yang disanjung. Ada juga yang menafsirkan gelar beliau diberikan karena beliau membuka pengajaran agama di sekitar anjungan istana sultan. Nama asli beliau adalah Habib Abu Bakar bin Husein Balfaqih yang wafat pada tahun 1100 H (1680an) dan dimaqamkan di Banda Aceh.[23]
Fatwa Syarief Mekkah telah mengantarkan Sultan Badrul Kamal Sayyid Ibrahim Habib Jamaluddin Syarif Hasyim Syah Jamalullayl (1699-1707) sebagai Sultan Aceh yang mengawali dipimpinnya Kesultanan Aceh oleh keturunan para Sayyid atau keturunan Rasulullah saw sampai dengan hampir 30 tahun, yang berakhir pada tahun 1726.[24] Peranan para Uleebalang yang berasal dari bekas raja-raja yang menguasai kerajaan-kerajaan kecil sebelum terbentuknya konfederasi Kerajaan Aceh Darussalam pada abad ke-XVI sangat menentukan kembali. Sejak awal peranan Syarief Mekkah sangat besar dalam pemerintahan Kesultanan Aceh, yang sebelumnya memang menjadi rujukan dari para Mufti yang mendampingi Sultan.[25] Sepanjang 30 tahun pemerintahan yang didukung oleh Ulama Mekkah ini tidak mampu menaikkan citra kegemilangan Kesultanan Aceh kembali. Namun prestasi utama para Sultan adalah keseriusan mereka dalam proses Islamisasi Nusantara sehingga menjadikannya sebagai salah satu bangsa yang mayoritas memeluk Islam.[26]
Kenaikan kembali keturunan garis Sultan asal Pasai dari keturunannya di Bugis, Sultan Alauddin Ahmad Shah (Maharaja Lela Melayu) pada 1735 telah menimbulkan kegusaran dari keturunan para Sayyid, terutama keturunan dari garis Sultan yang selama ini memegang kendali Kesultanan Aceh. Pergantian kepemimpinan ini dikhawatirkan dapat menimbulkan perang saudara dan pembantaian terhadap keluarga Sultan sebelumnya. Karena bersamaan pada saat itu kaum Imperialis-kolonialis Barat kaphe sedang mencari-cari cara untuk masuk menaklukkan Aceh dan telah mempersiapkan strategi pecah belah di antara Sultan dan kekuatan politik lainnya dengan berbagai provokasi. Maka para tokoh Sayyid di Aceh meminta Syarief Mekkah yang masih memiliki otoritas keagamaan atas Aceh agar mengirim Habib dan Ulama yang dapat membawa kedamaian dan rekonsiliasi di Aceh. Syarief Mekkah mengutus beberapa orang Habib dan Ulama yang diharapkan mampu memberikan bimbingan dan pengajaran kepada masyarakat Aceh yang membawa kedamaian dan persatuan. Maka datanglah ke Banda Aceh setelah mangkatnya Habib Dianjung, atau pada sekitar awal abad ke 18 Masehi yang terus datang secara bergelombang mengingat keadaan Aceh yang sedang dicekam dan diambang perang saudara. Bahkan sebagian para ahli sejarah menganggap masa ini sebagai periode perang saudara Aceh.[27]
Mengingat peristiwa yang krusial ini, yang ditambah dengan tantangan eksternal penjajah kafir yang mau menguasai Aceh, maka Syarief Mekkahpun telah mengutus beberapa Habib dan Ulama dengan berbagai latar belakang pengetahuannya, baik dalam bidang pengajaran agama, administrasi pemerintahan sampai kepada strategi perang. Di antara rombongan utusan Syarief Mekkah tersebut adalah Habib Abdurrahman bin Alwi Al-Habsyi yang kemudian dikenal dengan Habib Teuku Chik Monklayu, yang juga dikenal dengan Habib Bugak Aceh, karena tinggal dan dimaqamkan di Pante Sidom, Bugak, Bireuen.[28]
E. Kelahiran dan Nasab Habib Abdurrahman bin Alwi Al-Habsyi Bugak
Tanggal, bulan dan tahun kelahiran Habib Abdurrahman bin Alwi Al-Habsyi secara rinci sampai sekarang belum didapatkan, baik pada dokumen-dokumen yang tersimpan ataupun dari nara sumber. Menurut perhitungan dari generasi di bawah beliau, dan disesuaikan dengan beberapa peristiwa yang menyertainya, terutama dokumen yang ditemukan di Alue Ie Puteh yang memuat silsilah dan tahun wafatnya Habib Husein bin Abdurrahman, yaitu anak Habib Abdurrahman di Monklayu pada hari senin bulan ramadhan tahun 1304 atau sekitar tahun 1880an, maka Habib Abdurrahman diperkirakan wafat lebih awal 25-30an tahun, sekitar tahun 1280an H atau sekitar tahun 1865an M. Menurut cerita keluarga besar Al-Habsyi, Habib Abdurrahman berumur sekitar 150an tahun, maka beliau diperkirakan lahir pada sekitar awal tahun 1130an H atau sekitar tahun 1710-an Masehi. Asumsi ini juga didasarkan ketika datang ke Banda Aceh beliau berumur antara 35 atau 40 tahun sebagai batas dewasanya seorang Habib Ulama utusan Syarief Mekkah. Hal ini juga merujuk kepada dokumen Kesultanan Aceh bertahun 1206 H atau 1785 M yang memberikan keterangan akan tugas beliau di Bugak dan sekitarnya.
Menurut Sayed Dahlan bin Sayed Abdurrahman Al-Habsyi yang didengarnya dari kakek buyutnya, Habib Abdurrahman dilahirkan di Makkah Al-Mukarramah dalam lingkungan keluarga Al-Habsyi Ba’alwy Hasyimy yang memiliki kedudukan khusus dan terhormat di kalangan para petinggi Penguasa Mekkah. Sebagaimana diketahui bahwa sampai dengan awal abad ke 19 M, para Syarief Mekkah atau penguasa Mekkah adalah dari kalangan Ahlul Bayt Nabi saw yang diberikan amanah oleh para Khalifah Islam sampai berakhirnya masa Khalifah Usmaniyah di Turki pada tahun 1924 M.
Menurut data dari beberapa sumber, terutama dari Sayed Zein bin Habib Abdullah bin Habib Zein bin Habib Shafi Al-Habsyi dan dari Sayed Dahlan bin Sayed Abdurrahman bin Habib Shafi Al-Habsyi yang dikuatkan dengan lembaran silsilah yang tersimpan pada keluarga Alm. Sayed Abdurrahman bin Habib Abdullah bin Habib Zein bin Habib Shafi Al-Habsyi, silsilah Habib Abdurrahman adalah berasal dari Mekkah yang bersambung dengan garis Rasulullah saw, beliau adalah anaknya Habib Alwi bin Syekh Al-Habsyi.
Secara lengkap nasab beliau adalah Habib Abdurrahman bin Alwi bin Syekh bin Hasyim bin Abu Bakar bin Muhammad bin Alwi bin Abu Bakar Al-Habsyi bin Ali bin Ahmad bin Muhammad Hasadillah bin Hasan Attrabi bin Ali bin Fakeh Muqaddam bin Ali bin Muhammad bin Ali bin Alwi bin Muhammad bin Baalwi Al-Habsyi bin Abdullah bin Ahmad Al-Muhadjir bin Isa Al-Rumi bin Muhammad An-Naqib bin Ali Al-Uraidhi bin Jafar Siddiq bin Muhammad Al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Sayyidina Husein bin Sayyidah Fatimah (Ali bin Abi Thalib) binti Sayyidina Muhammad Rasulullah saw.
Sedangkan jika diurut dari bawah saat ini, maka Habib Abdurrahman adalah generasi yang ke 8. Sayed Maimun (Bugak,1958-skrg) bin Sayed Abdurrahman (Bugak,1927-2003) bin Habib Abdullah (Bugak,1903-1984) bin Habib Zein (Monklayu,w.?) bin Habib Shofi (Idi,w.?) bin Habib Ahmad (Monklayu, w.?) bin Habib Husein (Monklayu, w.1304 H / 1880 M) bin Habib Abdurrahman (Bugak-Pante Sidom, w.?) bin Alwi (Mekkah,w.?) bin Syekh dan seterusnya.
Banyak orang yang mengkritik tradisi keturunan Rasulullah (ahlul bayt) yang selalu menjaga dan memelihara silsilah keturunan. Namun bagi para keturunan Rasulullah, hal ini adalah sangat penting, terutama dari segi fiqih, agar keturunan Rasulullah tetap menjalankan syariatnya. Salah satunya adalah keturunan Rasulullah tidak boleh atau diharamkan memakan harta zakat atau shadaqah, tetapi boleh menerima hadiyah. Bagaimana hukum fiqih ini dapat terlaksana, jika keturunan Rasulullah tidak mengetahui nasab keturunannya. Agar jangan melanggar syariat inilah, maka sangat perlu bagi keturunan Rasulullah menjaga silsilah keluarganya.
Sudah menjadi tradisi masyarakat Aceh dan nusantara memberikan gelar kepada ahlul bayt atau keturunan nabi Muhammad saw dengan julukan Sayyid, Syarif, Habib untuk laki-laki dan Syarifah untuk wanita. Habib adalah salah seorang keturunan nabi Muhammad yang telah memiliki pengetahuan dan dihormati dilingkungannya. Tidak umum memberikan gelar Habib kepada mereka yang bukan keturunan Rasulullah, bahkan hampir tidak pernah ditemukan seorang Ulama atau tokoh masyarakat yang diberikan gelar Habib sedangkan mereka bukan dari golongan keturunan Rasulullah. Memang ada beberapa nama yang memakai Habib, seperti Habib Adnan atau Habib Chirzin, namun Habib disisi bukan gelar, tapi memang nama mereka adalah Habib.
Menurut tradisi kaum Hadramiyin (bangsa Arab) yang datang ke Nusantara, biasanya mereka memiliki kunyah (nama gelar) yang kadangkala dinisbatkan kepada tempat tinggal ataupun maqamnya seperti misalnya Sunan Bonang, Sunan Ampel, Pangeran Jayakarta, Habib Dianjung dan dikuti oleh Ulama, termasuk di Aceh seperti Maulana Syiah Kuala dan lain-lainnya. Demikian pula dengan Habib Abdurrahman, menurut tradisi memiliki nama gelar yang dikenal oleh kaum keluarganya yaitu Habib Bugak, karena beliau tinggal dan dimaqamkan di Pante Sidom Bugak.
F. Peranan Habib Abdurrahman Dalam Kesultanan Aceh Darussalam
Menurut penelitian Sayed Dahlan bin Habib Abdurrahman Al-Habsyi (60 thn), kakek buyut beliau Habib Abdurrahman bin Alwi bin Syekh Al-Habsyi adalah Habib dan Ulama terkemuka yang sebelumnya tinggal di lingkungan Ka’bah Mekkah Almukarramah sebagai salah seorang anggota penasihat kepada Syarif Mekkah pada pertengahan abad 18 M (1740-1760an M). Pada masa itu Syarief Mekkah yang dipegang para Habib, Sayyid dan Syarief keturunan Rasulullah memiliki tempat khusus di kalangan Sultan dan Penguasa Muslim di Nusantara, terutama Kesultanan Aceh Darussalam yang merupakan tradisi sejak Kerajaan Islam Pasai pada abad ke 13 M. Jika ada masalah-masalah yang tidak dapat diselesaikan, maka mereka akan meminta fatwa dari Habib dan Ulama di Mekkah. Sementara Aceh memiliki kedudukan yang sangat khusus sebagai Serambi Mekkah, yang menurut satu pendapat dikatakan sebagai tempat mengambil keputusan atau fatwa agama dan sumber rujukan bagi Nusantara karena para Ulama Aceh memiliki drajat pengetahuan yang sama dengan Ulama di Yaman, Hijaz maupun Mesir. Karena sebagai serambi Mekkah inilah, maka Aceh selalu mendapat perhatian khusus Syarief Mekkah yang memiliki otoritas dalam bidang keagamaan. Hal senada disampaikan pula oleh Sayed Muhammad bin Sayed Husein bin Habib Shafi Al-Habsyi (80 thn) yang tinggal di Sampoinit Baktia Barat Aceh Timur.
Menurut kedua nara sumber ini (Sayed Dahlan dan Sayed Muhammad) yang diceritakan melalui lisan dari generasi ke generasi sebagai tradisi para Sayed, Habib Abdurrahman bin Alwi Al-Habsyi datang ke Bandar Aceh Darussalam, ibu kota dan pusat pemerintahan Kesultanan Aceh Darussalam masa itu, sekitar awal atau pertengahan abad ke 18 (kira-kira thn 1760-an) bertepatan dengan masa pemerintahan Sultan Ala’addin Mahmudsyah (1767-1787) atas perintah dari Syarief Mekkah untuk menyelesaikan perbedaan faham antara Keturunan Sayid/Habib dengan keturunan para Sultan sejak zaman pemerintahan Sultan Ahmadsyah Johan (1735). Perbedaan ini terjadi ketika Sultan Badrul Alam Sayyid Ibrahim Syarif Hasyim Syah Jamalullayl sebagai keturunan Sayyid menggantikan Sultanah Kamalat Ziatuddinsyah, yang juga istrinya, dari keturunan Sultan Aceh atas dasar fatwa Syarief Mekkah dan dukungan uleebalang atau raja-raja kecil. Pertikaian ini selanjutnya berterusan sampai zaman Tuanku Sayid Hussein al-Aidit dengan keturunan Sultan Alaudin Ahmad Syah Johan.
Habib Abdurrahman bin Alwi Al-Habsyi datang ke Bandar Aceh, menurut Sayed Dahlan, bersama dengan beberapa orang Habib, Syekh dan Ulama sebagai utusan Syarief Mekkah yang akan meneruskan tugas-tugas yang telah dijalankan sebelumnya oleh Habib Abu Bakar bin Husein Balfaqih (w.1100 H) yang terkenal dengan Habib Dianjung, terutama dalam mendamaikan masyarakat Aceh yang sedang berada pada konflik internal yang disebabkan oleh perebutan kekuasaan dan juga oleh faham teologi keagamaan yang tidak toleran yang diajarkan Syekh Nuruddin al-Raniry sebelumnya yang menimbulkan perpecahan dan perang saudara di Aceh. Karena para Habib dan Ulama ini berhasil mendamaikan dan mengawal perdamaian para pemimpin Aceh yang menghasilkan sebuah rekonsiliasi masyarakat, maka mereka diberi kehormatan dan diminta menetap di Aceh. Para utusan Syarief Mekkah ini, semuanya memilih tinggal di Aceh memberikan pelajaran agama, administrasi, kemiliteran dan pelajaran lainnya kepada masyarakat Aceh.
Bersama-sama dengan para Habib dan Ulama lainnya, Habib Abdurrahman Al-Habsyi membimbing dan mengajar masyarakat Aceh, sekaligus menjadi penasihat kepada Sultan Aceh, baik yang berhubungan dengan masalah keagamaan, sosial, politik sampai kepada pertahanan. Kerena kelebihannya dalam ilmu agama dan ilmu pemerintahan, Habib Abdurrahman bin Alwi Al-Habsyi diminta Sultan Aceh untuk pindah ke wilayah utara Aceh dan diberi kehormatan dengan diangkat sebagai Teuku Chik, jabatan yang dibentuk Sultan untuk menggantikan peranan Uleebalang sebelumnya, yang memiliki kekuasaan meliputi daerah Peusangan, Bugak, Pante Sidom, Monklayu, Teluk Iboh, Maney, Lapang, Paya Kambi, Nisam sampai Cunda dan sekitarnya sebagaimana yang tercantum dalam dokumen bertahun 1224 H (1800 M), 1270 H (1855 M) dan 1289 H (1872 M) di atas logo cop Sekureng yang merupakan surat resmi Kesultanan Aceh Darussalam di tandatangani oleh Sultan Mahmud Syah dan Sultan Mansyur Syah yang ditemukan di rumah Sayed Abdurrahman bin Sayed Burhanuddin bin Sayed Abdurrahman bin Habib Shafi Al-Habsyi di Panton Labu Aceh Utara.
Dari dokumen-dokumen tersebut pula diketahui bahwa tugas Habib Abdurrahman bukan hanya mengurus administrasi pemerintahan semata, namun sekaligus sebagai seorang hakim (Qadhi) yang memutuskan perselisihan menurut hukum agama, Imam masjid, khatib jum’at, ulama sampai kepada wali hakim dalam pernikahan ataupun perceraian fasakh. Disebutkan pula tugas sebagai penerima waqaf mewakili Sultan, mengumpulkan pajak nangroe untuk Sultan dan beberapa tugas sosial lainnya. Dalam sebuah dokumen yang bertahun 1785 M (1206 H) bahkan disebutkan bahwa Habib Abdurrahman telah mengusir hama tikus yang merusak padi masyarakat di sekitar wilayah kekuasaannya, Peusangan dan sekitarnya. Atas kedudukannya tersebut, Habib Abdurrahman dan anak keturunannya kemudian dianugrahkan tanah luas oleh Sultan yang terbentang di antara Jeumpa sampai Monklayu Gandapura.
Menurut penelitian Sayed Dahlan yang dikuatkan dengan dokumen Kesultanan Aceh bertahun 1224 H (1800 M) yang ditandatangani Sultan Mahmud Syah, Habib Abdurrahman diangkat menjadi Bentara Laksamana karena memiliki kelebihan dalam bidang kemiliteran dan kelautan, yang bertugas menghalau kapal-kapal perang penjajah Belanda yang ingin menguasai Aceh. Markas besar beliau adalah di delta Sungai Krueng Tingkeum Monklayu yang sangat strategis. Maka sejak saat itu Habib Abdurrahman kemudian tinggal di Monklayu sebagai tokoh pemerintah dan ulama yang dipercaya Sultan yang seterusnya dilanjutkan oleh anak keturunan beliau.
Sejak Habib Abdurrahman menjadi Teuku Chik yang berkedudukan di Monklayu, maka mulai berkembanglah daerah tersebut, terutama Kuala Ceurapee menjadi salah satu daerah pelabuhan yang ramai dikunjungi para pedagang, baik dalam dan luar negeri. Tempatnya yang strategis di delta sungai yang dapat menghubungkan dengan daerah hulu sungai sebagai sarana hubungan yang penting pada masa itu. Bersamaan dengan itu tumbuhlah pelabuhan-pelabuhan kecil seperti pelabuhan Kuala Peusangan (sekarang Jangka) yang terkenal memiliki hubungan dagang dengan Pulau Pinang Malaysia dan menjadi kota satelit perdagangan di sekitar utara Aceh. Hikayat-hikayat yang dijumpai disekitar daerah Kuala Peusangan/Jangka ataupun Kuala Ceurapee dan Monklayu menggambarkan bagaimana kemakmuran masyarakat di sekitar pelabuhan yang sangat sibuk dan penuh dengan perdagangan rempah dan hasil bumi lainnya. Itulah sebabnya pada awal abad 20an, Kota Bugak dan Kewedanaan Peusangan, yang sekarang menjadi Matang Glumpang berkembang pesat menjadi sentra bisnis yang menampung hasil bumi dari wilayah sekitarnya. Kemajuan daerah ini pada awal 1930an dibuktikan dengan berdirinya perguruan tinggi (al-Jami’ah) yang akan menjadi cikal bakal Universitas Al-Muslim. Pendeklarasian PUSA (Persatuan Ulama Seluruh Aceh) di tempat ini sudah menggambarkan kedudukan startegisnya.
Di ujung hayatnya, sekitar pertengahan abad ke 19 M (1850-1880 an M), bertepatan dengan dimulainya serangan-serangan Kolonialis Belanda terhadap Aceh, maka beberapa kapal armada laut Kesultanan Aceh ditempatkan di sekitar delta sungai Krueng Tiengkem, di Monklayu yang sangat strategis. Karena Habib Abdurrahman adalah Teuku Chik di Monklayu, maka secara otomatis Sultan memberikan tugas untuk menjaga armada kapal perang Kesultanan Aceh. Menurut cerita yang berkembang pada anak cucu beliau, Habib Abdurrahman ikut memimpin perlawanan terhadap Kolonialis Belanda, terutama dalam memimpin armada kapal perang dengan jabatan sebagai Bentara Laksamana yang berkedudukan di Monklayu.
Menurut Sayed Dahlan yang didasarkan pada penuturan dan cerita nenek moyang beliau, setelah menyerahkan tugas-tugasnya kepada anak sulungnya bernama Habib Husein di Monklayu, maka Habib Abdurrahman hidup dan menetap di sekitar Pante Sidom, Bugak, Peusangan sebagaimana juga tercantum dalam dokumen bertahun 1206 H atau sekitar tahun 1785 M yang menerangkan tentang aktivitas Habib Abdurrahman bin Alwi Al-Habsyi. Sedangkan dokumen bertahun 1224 H atau sekitar 1800 M, yang berlogo Sultan Muhammad Syah, menerangkan tentang kehidupan Habib Abdurrahman dengan segala aktivitasnya sebagai seorang penguasa disekitar Bugak, Pante Sidom, Monklayu dan lainnya.
Setelah menjalankan kewajibannya, Habib Abdurrahman wafat pada usia 150an tahun, yang jika dihitung dari tahun wafat anak beliau Habib Husein pada 1304 H dikurangi sekitar 25-30 tahun lebih awal, maka beliau diperkirakan wafat pada sekitar tahun 1280an H atau 1860an M dan dimaqamkan di Pante Sidom, Bugak. Itulah sebabnya beliau dikenal oleh masyarakatnya sebagai Habib Bugak.
Menurut penuturan Sayed Dahlan, anak tertua Habib Abdurrahman bernama Habib Husein bin Abdurrahman AlHabsyi berangkat ke Mekkah untuk menunaikan amanah Habib Abdurrahman, termasuk untuk mengurus harta warisan beliau di Mekkah. Diantaranya berupa rumah disekitar Ka’bah sebagai warisan turun temurun keluarga besar Al-Habsyi. Karena mendapat nikmat dan penghormatan yang besar di bumi Aceh, maka Habib Husein atas wasiat Habib Abdurrahman mewaqafkan sebuah rumah untuk kepentingan masyarakat Aceh di Mekkah, baik jamaah haji ataupun mereka yang tinggal belajar. Itulah sebabnya, dalam ikrar waqaf tidak disebutkan nama pemberi waqaf, namun hanya mencantumkan Habib Bugak Asyi, untuk menghormati beliau yang telah tinggal di Bugak. Ada juga pendapat yang menyatakan bahwa beliau sempat berangkat ke Mekkah kembali dan mewaqafkan hartanya sendiri dengan nama Habib Bugak Asyi. Karena sudah menjadi tradisi orang-orang zahid dan saleh untuk tidak mengungkapkan jati dirinya dalam beramal soleh dan bersedekah.
Tanggal, bulan dan tahun kelahiran Habib Abdurrahman bin Alwi Al-Habsyi secara rinci sampai sekarang belum didapatkan, baik pada dokumen-dokumen yang tersimpan ataupun dari nara sumber. Menurut perhitungan dari generasi di bawah beliau, dan disesuaikan dengan beberapa peristiwa yang menyertainya, terutama dokumen yang ditemukan di Alue Ie Puteh yang memuat silsilah dan tahun wafatnya Habib Husein bin Abdurrahman, yaitu anak Habib Abdurrahman di Monklayu pada hari senin bulan ramadhan tahun 1304 atau sekitar tahun 1880an, maka Habib Abdurrahman diperkirakan wafat lebih awal 25-30an tahun, sekitar tahun 1280an H atau sekitar tahun 1865an M. Menurut cerita keluarga besar Al-Habsyi, Habib Abdurrahman berumur sekitar 150an tahun, maka beliau diperkirakan lahir pada sekitar awal tahun 1130an H atau sekitar tahun 1710-an Masehi. Asumsi ini juga didasarkan ketika datang ke Banda Aceh beliau berumur antara 35 atau 40 tahun sebagai batas dewasanya seorang Habib Ulama utusan Syarief Mekkah. Hal ini juga merujuk kepada dokumen Kesultanan Aceh bertahun 1206 H atau 1785 M yang memberikan keterangan akan tugas beliau di Bugak dan sekitarnya.
Menurut Sayed Dahlan bin Sayed Abdurrahman Al-Habsyi yang didengarnya dari kakek buyutnya, Habib Abdurrahman dilahirkan di Makkah Al-Mukarramah dalam lingkungan keluarga Al-Habsyi Ba’alwy Hasyimy yang memiliki kedudukan khusus dan terhormat di kalangan para petinggi Penguasa Mekkah. Sebagaimana diketahui bahwa sampai dengan awal abad ke 19 M, para Syarief Mekkah atau penguasa Mekkah adalah dari kalangan Ahlul Bayt Nabi saw yang diberikan amanah oleh para Khalifah Islam sampai berakhirnya masa Khalifah Usmaniyah di Turki pada tahun 1924 M.
Menurut data dari beberapa sumber, terutama dari Sayed Zein bin Habib Abdullah bin Habib Zein bin Habib Shafi Al-Habsyi dan dari Sayed Dahlan bin Sayed Abdurrahman bin Habib Shafi Al-Habsyi yang dikuatkan dengan lembaran silsilah yang tersimpan pada keluarga Alm. Sayed Abdurrahman bin Habib Abdullah bin Habib Zein bin Habib Shafi Al-Habsyi, silsilah Habib Abdurrahman adalah berasal dari Mekkah yang bersambung dengan garis Rasulullah saw, beliau adalah anaknya Habib Alwi bin Syekh Al-Habsyi.
Secara lengkap nasab beliau adalah Habib Abdurrahman bin Alwi bin Syekh bin Hasyim bin Abu Bakar bin Muhammad bin Alwi bin Abu Bakar Al-Habsyi bin Ali bin Ahmad bin Muhammad Hasadillah bin Hasan Attrabi bin Ali bin Fakeh Muqaddam bin Ali bin Muhammad bin Ali bin Alwi bin Muhammad bin Baalwi Al-Habsyi bin Abdullah bin Ahmad Al-Muhadjir bin Isa Al-Rumi bin Muhammad An-Naqib bin Ali Al-Uraidhi bin Jafar Siddiq bin Muhammad Al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Sayyidina Husein bin Sayyidah Fatimah (Ali bin Abi Thalib) binti Sayyidina Muhammad Rasulullah saw.
Sedangkan jika diurut dari bawah saat ini, maka Habib Abdurrahman adalah generasi yang ke 8. Sayed Maimun (Bugak,1958-skrg) bin Sayed Abdurrahman (Bugak,1927-2003) bin Habib Abdullah (Bugak,1903-1984) bin Habib Zein (Monklayu,w.?) bin Habib Shofi (Idi,w.?) bin Habib Ahmad (Monklayu, w.?) bin Habib Husein (Monklayu, w.1304 H / 1880 M) bin Habib Abdurrahman (Bugak-Pante Sidom, w.?) bin Alwi (Mekkah,w.?) bin Syekh dan seterusnya.
Banyak orang yang mengkritik tradisi keturunan Rasulullah (ahlul bayt) yang selalu menjaga dan memelihara silsilah keturunan. Namun bagi para keturunan Rasulullah, hal ini adalah sangat penting, terutama dari segi fiqih, agar keturunan Rasulullah tetap menjalankan syariatnya. Salah satunya adalah keturunan Rasulullah tidak boleh atau diharamkan memakan harta zakat atau shadaqah, tetapi boleh menerima hadiyah. Bagaimana hukum fiqih ini dapat terlaksana, jika keturunan Rasulullah tidak mengetahui nasab keturunannya. Agar jangan melanggar syariat inilah, maka sangat perlu bagi keturunan Rasulullah menjaga silsilah keluarganya.
Sudah menjadi tradisi masyarakat Aceh dan nusantara memberikan gelar kepada ahlul bayt atau keturunan nabi Muhammad saw dengan julukan Sayyid, Syarif, Habib untuk laki-laki dan Syarifah untuk wanita. Habib adalah salah seorang keturunan nabi Muhammad yang telah memiliki pengetahuan dan dihormati dilingkungannya. Tidak umum memberikan gelar Habib kepada mereka yang bukan keturunan Rasulullah, bahkan hampir tidak pernah ditemukan seorang Ulama atau tokoh masyarakat yang diberikan gelar Habib sedangkan mereka bukan dari golongan keturunan Rasulullah. Memang ada beberapa nama yang memakai Habib, seperti Habib Adnan atau Habib Chirzin, namun Habib disisi bukan gelar, tapi memang nama mereka adalah Habib.
Menurut tradisi kaum Hadramiyin (bangsa Arab) yang datang ke Nusantara, biasanya mereka memiliki kunyah (nama gelar) yang kadangkala dinisbatkan kepada tempat tinggal ataupun maqamnya seperti misalnya Sunan Bonang, Sunan Ampel, Pangeran Jayakarta, Habib Dianjung dan dikuti oleh Ulama, termasuk di Aceh seperti Maulana Syiah Kuala dan lain-lainnya. Demikian pula dengan Habib Abdurrahman, menurut tradisi memiliki nama gelar yang dikenal oleh kaum keluarganya yaitu Habib Bugak, karena beliau tinggal dan dimaqamkan di Pante Sidom Bugak.
F. Peranan Habib Abdurrahman Dalam Kesultanan Aceh Darussalam
Menurut penelitian Sayed Dahlan bin Habib Abdurrahman Al-Habsyi (60 thn), kakek buyut beliau Habib Abdurrahman bin Alwi bin Syekh Al-Habsyi adalah Habib dan Ulama terkemuka yang sebelumnya tinggal di lingkungan Ka’bah Mekkah Almukarramah sebagai salah seorang anggota penasihat kepada Syarif Mekkah pada pertengahan abad 18 M (1740-1760an M). Pada masa itu Syarief Mekkah yang dipegang para Habib, Sayyid dan Syarief keturunan Rasulullah memiliki tempat khusus di kalangan Sultan dan Penguasa Muslim di Nusantara, terutama Kesultanan Aceh Darussalam yang merupakan tradisi sejak Kerajaan Islam Pasai pada abad ke 13 M. Jika ada masalah-masalah yang tidak dapat diselesaikan, maka mereka akan meminta fatwa dari Habib dan Ulama di Mekkah. Sementara Aceh memiliki kedudukan yang sangat khusus sebagai Serambi Mekkah, yang menurut satu pendapat dikatakan sebagai tempat mengambil keputusan atau fatwa agama dan sumber rujukan bagi Nusantara karena para Ulama Aceh memiliki drajat pengetahuan yang sama dengan Ulama di Yaman, Hijaz maupun Mesir. Karena sebagai serambi Mekkah inilah, maka Aceh selalu mendapat perhatian khusus Syarief Mekkah yang memiliki otoritas dalam bidang keagamaan. Hal senada disampaikan pula oleh Sayed Muhammad bin Sayed Husein bin Habib Shafi Al-Habsyi (80 thn) yang tinggal di Sampoinit Baktia Barat Aceh Timur.
Menurut kedua nara sumber ini (Sayed Dahlan dan Sayed Muhammad) yang diceritakan melalui lisan dari generasi ke generasi sebagai tradisi para Sayed, Habib Abdurrahman bin Alwi Al-Habsyi datang ke Bandar Aceh Darussalam, ibu kota dan pusat pemerintahan Kesultanan Aceh Darussalam masa itu, sekitar awal atau pertengahan abad ke 18 (kira-kira thn 1760-an) bertepatan dengan masa pemerintahan Sultan Ala’addin Mahmudsyah (1767-1787) atas perintah dari Syarief Mekkah untuk menyelesaikan perbedaan faham antara Keturunan Sayid/Habib dengan keturunan para Sultan sejak zaman pemerintahan Sultan Ahmadsyah Johan (1735). Perbedaan ini terjadi ketika Sultan Badrul Alam Sayyid Ibrahim Syarif Hasyim Syah Jamalullayl sebagai keturunan Sayyid menggantikan Sultanah Kamalat Ziatuddinsyah, yang juga istrinya, dari keturunan Sultan Aceh atas dasar fatwa Syarief Mekkah dan dukungan uleebalang atau raja-raja kecil. Pertikaian ini selanjutnya berterusan sampai zaman Tuanku Sayid Hussein al-Aidit dengan keturunan Sultan Alaudin Ahmad Syah Johan.
Habib Abdurrahman bin Alwi Al-Habsyi datang ke Bandar Aceh, menurut Sayed Dahlan, bersama dengan beberapa orang Habib, Syekh dan Ulama sebagai utusan Syarief Mekkah yang akan meneruskan tugas-tugas yang telah dijalankan sebelumnya oleh Habib Abu Bakar bin Husein Balfaqih (w.1100 H) yang terkenal dengan Habib Dianjung, terutama dalam mendamaikan masyarakat Aceh yang sedang berada pada konflik internal yang disebabkan oleh perebutan kekuasaan dan juga oleh faham teologi keagamaan yang tidak toleran yang diajarkan Syekh Nuruddin al-Raniry sebelumnya yang menimbulkan perpecahan dan perang saudara di Aceh. Karena para Habib dan Ulama ini berhasil mendamaikan dan mengawal perdamaian para pemimpin Aceh yang menghasilkan sebuah rekonsiliasi masyarakat, maka mereka diberi kehormatan dan diminta menetap di Aceh. Para utusan Syarief Mekkah ini, semuanya memilih tinggal di Aceh memberikan pelajaran agama, administrasi, kemiliteran dan pelajaran lainnya kepada masyarakat Aceh.
Bersama-sama dengan para Habib dan Ulama lainnya, Habib Abdurrahman Al-Habsyi membimbing dan mengajar masyarakat Aceh, sekaligus menjadi penasihat kepada Sultan Aceh, baik yang berhubungan dengan masalah keagamaan, sosial, politik sampai kepada pertahanan. Kerena kelebihannya dalam ilmu agama dan ilmu pemerintahan, Habib Abdurrahman bin Alwi Al-Habsyi diminta Sultan Aceh untuk pindah ke wilayah utara Aceh dan diberi kehormatan dengan diangkat sebagai Teuku Chik, jabatan yang dibentuk Sultan untuk menggantikan peranan Uleebalang sebelumnya, yang memiliki kekuasaan meliputi daerah Peusangan, Bugak, Pante Sidom, Monklayu, Teluk Iboh, Maney, Lapang, Paya Kambi, Nisam sampai Cunda dan sekitarnya sebagaimana yang tercantum dalam dokumen bertahun 1224 H (1800 M), 1270 H (1855 M) dan 1289 H (1872 M) di atas logo cop Sekureng yang merupakan surat resmi Kesultanan Aceh Darussalam di tandatangani oleh Sultan Mahmud Syah dan Sultan Mansyur Syah yang ditemukan di rumah Sayed Abdurrahman bin Sayed Burhanuddin bin Sayed Abdurrahman bin Habib Shafi Al-Habsyi di Panton Labu Aceh Utara.
Dari dokumen-dokumen tersebut pula diketahui bahwa tugas Habib Abdurrahman bukan hanya mengurus administrasi pemerintahan semata, namun sekaligus sebagai seorang hakim (Qadhi) yang memutuskan perselisihan menurut hukum agama, Imam masjid, khatib jum’at, ulama sampai kepada wali hakim dalam pernikahan ataupun perceraian fasakh. Disebutkan pula tugas sebagai penerima waqaf mewakili Sultan, mengumpulkan pajak nangroe untuk Sultan dan beberapa tugas sosial lainnya. Dalam sebuah dokumen yang bertahun 1785 M (1206 H) bahkan disebutkan bahwa Habib Abdurrahman telah mengusir hama tikus yang merusak padi masyarakat di sekitar wilayah kekuasaannya, Peusangan dan sekitarnya. Atas kedudukannya tersebut, Habib Abdurrahman dan anak keturunannya kemudian dianugrahkan tanah luas oleh Sultan yang terbentang di antara Jeumpa sampai Monklayu Gandapura.
Menurut penelitian Sayed Dahlan yang dikuatkan dengan dokumen Kesultanan Aceh bertahun 1224 H (1800 M) yang ditandatangani Sultan Mahmud Syah, Habib Abdurrahman diangkat menjadi Bentara Laksamana karena memiliki kelebihan dalam bidang kemiliteran dan kelautan, yang bertugas menghalau kapal-kapal perang penjajah Belanda yang ingin menguasai Aceh. Markas besar beliau adalah di delta Sungai Krueng Tingkeum Monklayu yang sangat strategis. Maka sejak saat itu Habib Abdurrahman kemudian tinggal di Monklayu sebagai tokoh pemerintah dan ulama yang dipercaya Sultan yang seterusnya dilanjutkan oleh anak keturunan beliau.
Sejak Habib Abdurrahman menjadi Teuku Chik yang berkedudukan di Monklayu, maka mulai berkembanglah daerah tersebut, terutama Kuala Ceurapee menjadi salah satu daerah pelabuhan yang ramai dikunjungi para pedagang, baik dalam dan luar negeri. Tempatnya yang strategis di delta sungai yang dapat menghubungkan dengan daerah hulu sungai sebagai sarana hubungan yang penting pada masa itu. Bersamaan dengan itu tumbuhlah pelabuhan-pelabuhan kecil seperti pelabuhan Kuala Peusangan (sekarang Jangka) yang terkenal memiliki hubungan dagang dengan Pulau Pinang Malaysia dan menjadi kota satelit perdagangan di sekitar utara Aceh. Hikayat-hikayat yang dijumpai disekitar daerah Kuala Peusangan/Jangka ataupun Kuala Ceurapee dan Monklayu menggambarkan bagaimana kemakmuran masyarakat di sekitar pelabuhan yang sangat sibuk dan penuh dengan perdagangan rempah dan hasil bumi lainnya. Itulah sebabnya pada awal abad 20an, Kota Bugak dan Kewedanaan Peusangan, yang sekarang menjadi Matang Glumpang berkembang pesat menjadi sentra bisnis yang menampung hasil bumi dari wilayah sekitarnya. Kemajuan daerah ini pada awal 1930an dibuktikan dengan berdirinya perguruan tinggi (al-Jami’ah) yang akan menjadi cikal bakal Universitas Al-Muslim. Pendeklarasian PUSA (Persatuan Ulama Seluruh Aceh) di tempat ini sudah menggambarkan kedudukan startegisnya.
Di ujung hayatnya, sekitar pertengahan abad ke 19 M (1850-1880 an M), bertepatan dengan dimulainya serangan-serangan Kolonialis Belanda terhadap Aceh, maka beberapa kapal armada laut Kesultanan Aceh ditempatkan di sekitar delta sungai Krueng Tiengkem, di Monklayu yang sangat strategis. Karena Habib Abdurrahman adalah Teuku Chik di Monklayu, maka secara otomatis Sultan memberikan tugas untuk menjaga armada kapal perang Kesultanan Aceh. Menurut cerita yang berkembang pada anak cucu beliau, Habib Abdurrahman ikut memimpin perlawanan terhadap Kolonialis Belanda, terutama dalam memimpin armada kapal perang dengan jabatan sebagai Bentara Laksamana yang berkedudukan di Monklayu.
Menurut Sayed Dahlan yang didasarkan pada penuturan dan cerita nenek moyang beliau, setelah menyerahkan tugas-tugasnya kepada anak sulungnya bernama Habib Husein di Monklayu, maka Habib Abdurrahman hidup dan menetap di sekitar Pante Sidom, Bugak, Peusangan sebagaimana juga tercantum dalam dokumen bertahun 1206 H atau sekitar tahun 1785 M yang menerangkan tentang aktivitas Habib Abdurrahman bin Alwi Al-Habsyi. Sedangkan dokumen bertahun 1224 H atau sekitar 1800 M, yang berlogo Sultan Muhammad Syah, menerangkan tentang kehidupan Habib Abdurrahman dengan segala aktivitasnya sebagai seorang penguasa disekitar Bugak, Pante Sidom, Monklayu dan lainnya.
Setelah menjalankan kewajibannya, Habib Abdurrahman wafat pada usia 150an tahun, yang jika dihitung dari tahun wafat anak beliau Habib Husein pada 1304 H dikurangi sekitar 25-30 tahun lebih awal, maka beliau diperkirakan wafat pada sekitar tahun 1280an H atau 1860an M dan dimaqamkan di Pante Sidom, Bugak. Itulah sebabnya beliau dikenal oleh masyarakatnya sebagai Habib Bugak.
Menurut penuturan Sayed Dahlan, anak tertua Habib Abdurrahman bernama Habib Husein bin Abdurrahman AlHabsyi berangkat ke Mekkah untuk menunaikan amanah Habib Abdurrahman, termasuk untuk mengurus harta warisan beliau di Mekkah. Diantaranya berupa rumah disekitar Ka’bah sebagai warisan turun temurun keluarga besar Al-Habsyi. Karena mendapat nikmat dan penghormatan yang besar di bumi Aceh, maka Habib Husein atas wasiat Habib Abdurrahman mewaqafkan sebuah rumah untuk kepentingan masyarakat Aceh di Mekkah, baik jamaah haji ataupun mereka yang tinggal belajar. Itulah sebabnya, dalam ikrar waqaf tidak disebutkan nama pemberi waqaf, namun hanya mencantumkan Habib Bugak Asyi, untuk menghormati beliau yang telah tinggal di Bugak. Ada juga pendapat yang menyatakan bahwa beliau sempat berangkat ke Mekkah kembali dan mewaqafkan hartanya sendiri dengan nama Habib Bugak Asyi. Karena sudah menjadi tradisi orang-orang zahid dan saleh untuk tidak mengungkapkan jati dirinya dalam beramal soleh dan bersedekah.
G.Analisis:Habib Abdurrahman AlHabsyi=Habib Bugak Asyi (Waqif Rumah Aceh)
Dua tokoh Aceh, Dr. Al Yasa’ Abubakar (Kepala Dinas Syariat Islam NAD) dan Dr. Azman Isma’il, MA (Imam Besar Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh) telah mengeluarkan surat pernyataan tentang asal muasal Waqaf Habib Bugak Asyi. Seorang hartawan dan dermawan Aceh bernama Tgk. Haji Habib Bugak mewakafkan sebuah rumah di Qusyasyiah, tempat antara Marwah dengan Masjidil Haram Mekkah dan sekarang sudah berada di dalam masjid dekat dengan pintu Bab al Fatah.
Menurut akta ikrar Waqaf yang disimpan dengan baik oleh Nadzir, waqaf tersebut diikrarkan oleh Habib Bugak Asyi pada tahun 1222 Hijriyah (sekitar tahun 1800 Masehi) di depan Hakim Mahkamah Syar’iyah Mekkah. Di dalamnya disebutkan bahwa rumah tersebut diwaqafkan untuk penginapan orang yang datang dari Aceh untuk menunaikan haji, serta orang Aceh yang menetap di Mekkah. Dan Habib Bugak telah menunjuk Nadzir (pengelola) salah seorang ulama asal Aceh yang telah menetap di Mekkah. Nadzir diberi hak sesuai dengan tuntunan syariah Islam.
Habib Bugak Asyi telah mewariskan kepada masyarakat Aceh harta yang kini telah berharga lebih 5,2 Trilyun rupiah sebagai waqaf fi sabilillah berupa 2 buah aset, hotel Ajyad (Funduk Ajyad) bertingkat 25 sekitar 500 meter dari Masjidil Haram dan Menara Ajyad (Burj Ajyad) bertingkat 28 sekitar 600 meter dari Masjidil Haram. Kedua hotel besar ini mampu menampung lebih 7000 jamaah yang dilengkapi dengan infrastruktur lengkap. Pada musim haji tahun 1427 lalu, Nadzir (pengelola) Wakaf Habib Bugak Asyi telah mengganti sewa rumah jamaah haji asal Aceh selama di Mekkah sebesar sewa yang telah dibayar Pemerintah Indonesia kepada pemilik pemondokan atau hotel yang ditempati para jamaah haji asal Aceh, yang besarnya sekitar antara SR 1.100 sd SR 2.000, dengan jumlah total 13,5 milyar rupiah. Dan untuk musim haji tahun 1428 tahun ini, Nadzir Waqaf Habib Bugak mengganti biaya pemondokan haji sebesar 25 milyar rupiah.
Namun sampai saat ini belum banyak yang mengetahui secara pasti, siapa sebenarnya Habib Bugak yang telah memberikan manfaat besar kepada masyarakat Aceh, walau beliau sudah wafat. Demikian pula belum ada literatur yang memuat sejarah hidup beliau. Bahkan ketika penulis bertanya kepada Prof.Dr. Al Yasa’ Abubakar melalui sms perihal nama asli Habib Bugak, karena beliau adalah salah seorang yang diutus oleh pemda NAD mewakili perundingan di Mekkah. Beliau menjawab bahwa sampai saat ini belum ada data pasti tentang Habib Bugak, karena di ikrar waqaf tidak tercantum nama asli, hanya disebutkan Habib Bugak Asyi. Beliau juga menambahkan agar Bugak juga ditelusuri, apakah yang dimaksud Bugak yang di Bireun atau lainnya. Menurut beliau sekurangnya ada nama Kuala Bugak yang berada di Aceh Timur.
Karena terdorong oleh kehebatan karomah yang dimiliki oleh Habib Bugak ini, penulis merasa tertarik untuk mengadakan penelitian terhadap sejarah hidup beliau. Karena menurut penulis beliau adalah wali Allah yang memiliki karamah besar, bahkan karomahnya tidak hilang dengan meninggalnya beliau, bahkan bertambah-tambah seperti yang terjadi pada waqaf yang beliau berikan. Berawal dari sebuah rumah yang mampu menampung puluhan orang, kini telah menjadi hotel besar yang mampu menampung 7000 orang dan menghasilkan dana besar untuk kepentingan perjuangan di jalan Allah.
Analisis Pertama: Bugak Asyi, Asal Habib Bugak
Bugak Asyi dalam bahasa Arab artinya daerah Bugak dalam wilayah Aceh. Dalam tulisan Arab, Bugak terdiri dari huruf: ba, waw, kaf, alif dan hamzah. Maka harus ditelusuri sebuah wilayah, daerah, kampong atau mukim yang bernama Bugak dengan huruf-huruf di atas dalam seluruh Aceh, terutama yang termasuk dalam wilayah Kesultanan Aceh Darussalam pada sekitar tahun 1800an, atau tahun dibuatnya ikrar waqaf.
Menurut penelusuran penulis, untuk saat ini ada beberapa yang berkaitan dengan Bugak. Pertama, Bugak yang masuk dalam wilayah Peusangan, Matang Glumpangdua di Kabupaten Bireuen. Menurut mantan Bupati Bireuen, Mustafa A.Glanggang, daerah Bugak tanpa tambahan kata di muka atau belakang, hanya terdapat di wilayah Bireuen saja dan tidak ada terdapat di wilayah/kabupaten lainnya. Menurut sejarahnya, Bugak (sekarang jadi bagian kecamatan Jangka) dahulunya adalah sebuah pusat kota berdekatan dengan daerah pesisir Kuala Peusangan dan Monklayu. Bugak menjadi pertemuan dari kedua kota pelabuhan tersebut dan berkembang menjadi kota maju yang dapat dilihat bekas-bekas peninggalannya hingga kini berupa rumah besar dan mewah serta toko tua yang menjadi tempat tinggal para hartawan yang berprofesi sebagai tuan tanah, saudagar dan lainnya. Dalam sebuah dokumen yang dikeluarkan oleh Sultan Mansyur Syah bertahun 1278 H lengkap dengan cop sekureng, disebutkan sebuah wilayah bernama Bugak yang menjadi wilayah Kesultanan Aceh Darussalam. Di antara kata Bugak disebutkan pula beberapa nama wilayah lain seperti Glumpang Dua, Kejrun Kuala, Bugak, Pante Sidom, Peusangan, Monklayu dan lainnya, yang sebagian nama-nama tersebut memang masih eksis sampai sekarang yang menjadi bagian dari wilayah kecamatan Peusangan, kecamatan Jangka dan kecamatan Gandapura yang terletak di sekitar Matang atau Kabupaten Bireuen.
Kedua, Kuala Bugak, terletak di Peurelak Aceh Timur. Sampai saat ini penulis belum mendapatkan dasar-dasar yang menguatkan bahwa wilayah ini yang sebut Bugak. Disamping karena ada tambahan Kuala di depannya, kehidupan sosial masyarakatpun di sekitar Kuala Bugak tidak mendukung fakta. Setelah mengadakan survey di sekitar Kuala Bugak, penulis bertambah yakin, bahwa Kuala Bugak bukanlah daerah yang dimaksud, karena di sekitar daerah tersebut tidak terdapat situs atau peninggalan dari seorang Habib atau keturunan Rasulullah yang memiliki peranan besar. Penulis hanya menemui beberapa keturunan sayyid yang tinggal sebagai nelayan empat generasi lalu, yang berasal dari Malaysia. Kondisi sosial ekonomi yang memprihatinkan juga tidak menggambarkan peran Kuala Bugak sebagai sebuah pusat perekonomian pada masa itu.
Ketiga, Bugak-Bugak lain. Diantaranya ada yang menyebutkan Matang Buga, dan lainnya. Namun sejauh ini penulis belum mendapat fakta yang berkaitan dengan obyek yang diteliti. Dengan kata lainnya, tidak adanya dasar fakta yang dapat mengaitkannya sebagai wilayah yang dinamakan Bugak, sebagaimana dimaksud pada ikrar waqaf tersebut.
Hipotesa: Berdasarkan beberapa hasil survey dan analisisnya tersebut di atas, maka dapat disimpulkan untuk sementara bahwa Bugak yang terdapat di sekitar kecamatan Jangka, adalah wilayah yang memiliki peluang besar sebagai Bugak yang disebutkan pada perjanjian ikrar waqaf tersebut. Disamping analisis di atas, ada beberapa fakta yang memperkuat dugaan tersebut sebagaimana akan dibahas selanjutnya.
Analisis Kedua: Habib dan Keturunannya di Bugak
Masayarakat Nusantara, khususnya di Aceh telah memberikan gelar Habib kepada para keturunan Rasulullah dari keturunan Sayyidina Husein bin Ali ataupun dari keturunan Sayyidina Hasan bin Ali, biasa juga disebut dengan Sayyid atau Syarief. Gelar Habib biasanya hanya diberikan kepada para pemuka atau tokoh yang telah lanjut usia dan memiliki pengetahuan serta keistimewaan dalam masyarakatnya. Biasanya para Habib adalah seorang tokoh yang berpengaruh serta memiliki pengetahuan luas yang dijadikan pemimpin keagamaan yang memiliki otoritas keagamaan kepada masyarakat muslim. Disamping memiliki kharisma yang besar, biasanya juga memiliki kelebihan-kelebihan supra-natural atau secara spiritual. Boleh dikata bahwa Habib adalah para pemuka atau Ulama dikalangan para sayyid ataupun syarief. Masyarakat yang bukan keturunan Rasulullah, tidak akan diberikan gelar Habib, bahkan mereka tidak biasa atau tidak berani memakai gelar terhormat tersebut. (Lihat pembahasan sebelumnya menurut Snouck dan Muhammad Said)
Di sekitar daerah Bugak, terdapat banyak keturunan Sayyid, terutama dari keturunan Jamalullayl, al-Mahdali, Alaydrus dan mayoritasnya adalah Al-Habsyi. Keturunan Al-Habsyi sangat mendominasi, terutama yang berasal dari sekitar Monklayu. Menurut penelitian dan penelusuran penulis, kebanyakan Sayyid di sekitar Bugak adalah dari keturunan Al-Habsyi. Keturunan ini berasal dari Habib Abdurrahman bin Alwi Al-Habsyi yang hingga saat ini sudah turun temurun menjadi 8 generasi. Menurut beberapa Orang Tuha dan Tgk. Imeum di sekitar Bugak, Habib Abdurrahman bin Alwi Al-Habsyi adalah salah seorang yang pertama membuka Bugak dan memiliki kedudukan terhormat sebagai wakil Sultan. Hal ini diperkuat dengan dokumen yang dikeluarkan Sultan Mansyur Syah bertahun 1270 H/ 1825 M yang menyebutkan dengan terang nama Habib Abdurrahman dengan Bugak.
Analisis Ketiga: Kunyah Habib Abdurrahman = Habib Bugak
Menurut tradisi kaum Hadramiyin (bangsa Arab) yang datang ke Nusantara, biasanya mereka memiliki kunyah (nama gelar) yang kadangkala dinisbatkan kepada tempat tinggal ataupun maqamnya seperti misalnya Sunan Bonang, Sunan Ampel, Pangeran Jayakarta, Habib Chik Dianjung dan dikuti oleh Ulama, termasuk di Aceh seperti Maulana Syiah Kuala dan lain-lainnya. Demikian pula dengan Habib Abdurrahman, menurut tradisi memiliki nama gelar yang dikenal oleh kaum keluarganya sebagai Habib Bugak, karena beliau tinggal di Bugak.
Menurut penelitian penulis di sekitar Bugak dan wilayah yang berhampiran dengannya, tidak ada seorang Habib yang melebihi kemasyhuran Habib Abdurrahman bin Alwi, karena beliau adalah Teungku Chik dan kepercayaan Sultan Aceh untuk wilayah Bugak dan sekitarnya yang memiliki wewenang pemerintahan sekaligus wewenang keagamaan, yang jarang diperoleh seorang pembesar sebagaimana tercantum dalam dokumen sultan tahun 1206 H dan lainnya. Dan sampai saat ini belum penulis temukan seorang Habib yang memakai kunyah Habib Bugak kecuali kepada Habib Abdurrahman bin Alwi.
Analisis Keempat: Masa Hidup Habib Abdurrahman Berdekatan Dengan Ikrar Waqaf
Ikrar waqaf Habib Bugak di Mekkah terjadi pada tahun 1222 H. Sementara dokumen Kesultanan Aceh yang ditandatangani oleh Sultan Mahmudsyah pada tahun 1206 H dan dokumen Kesultanan Aceh yang ditandatangani oleh Sultan Mansyur Syah pada tahun 1270 H menyebutkan dengan tegas nama dan tugas Sayyid Abdurrahman bin Alwi atau Habib Abdurrahman bin Alwi. Dengan demikian, maka dapat disimpulkan bahwa Habib Abdurrahman pernah hidup di Bugak sebagai orang kepercayaan Sultan Aceh Darussalam antara tahun 1206 H sampai dengan tahun 1270 H, hampir bersesuaian dengan tahun waqaf di buat pada tahun 1222 H. Bahkan ada dokumen Sultan yang menyebutkan kuasa Habib pada tahun 1224 H.
Analisis Kelima: Waqif adalah Habib Hartawan-Dermawan Dari Bugak
Sebagaimana dinyatakan Dr. Al Yasa’, bahwa waqif mestilah seorang Habib dari Bugak yang hartawan lagi dermawan. Harta waqaf di Mekkah tersebut boleh jadi beliau beli lalu diwaqafkan atau memang harta warisan nenek moyang beliau dan beliau waqafkan mengingat banyaknya nikmat yang diperoleh di Aceh.
Menurut penelusuran penulis, di daerah Bugak dan sekitarnya, belum ditemukan dari kalangan Habib yang melebihi Habib Abdurrahman bin Alwi AlHabsyi serta anak keturunannya dalam hal kehormatan maupun kehartawanannya. Hal ini dibuktikan oleh beberapa dokumen yang ditandatangani Sultan Aceh yang menyebut wilayah kekuasaan yang dimiliki oleh Habib Abdurrahman dan keturunannya. Sebagai orang yang terpandang, berpangkat serta dekat dengan Sultan, tentulah beliau memiliki banyak konsesi yang diberikan Sultan atau para uleebalang kepada beliau yang menjadikan beliau sebagai salah seorang hartawan di Bugak dan sekitarnya pada masa itu. Hal serupa juga disampaikan oleh keturunan beliau dan diperkuat dengan dokumen Kesultanan. Namun pada zaman revolusi sosial, terutama pasca perang cumbok antara uleebalang dengan ulama, banyak harta benda miliki uleebalang yang disita para ulama, termasuklah tanah-tanah yang selama ini di bawah kendali Habib Abdurrahman.
Jika dibandingkan harta yang diperolehnya ketika berada di Aceh, maka tentu tidak ada artinya jika dibandingkan dengan harta warisan yang beliau tinggalkan di Mekkah pada zaman itu. Dan pada umumnya mereka yang datang dari Arab yang penuh padang pasir dan sudah tinggal di Aceh, akan tetap memilih tinggal di sini, tentu karena alamnya bagaikan surga. Mungkin inilah salah satu yang menjadi pertimbangan Habib Bugak mewaqafkan hartanya di Mekah karena ketertarikan yang besar kepada alam Aceh. Maka adalah sangat wajar apabila beliau mewaqafkan hartanya di Mekah, namun khusus untuk kepentingan masyarakat Aceh, tempat beliau mendapat kenikmatan yang besar.
H. Kesimpulan
Kesultanan Aceh Darussalam adalah salah satu kesultanan di Nusantara yang memiliki peran besar dalam proses Islamisasi yang mendapat dukungan dari Syarief Mekkah. Adapun hubungan antara Kesultanan Aceh dengan Syarief Mekkah ditandai oleh utusan-utusan dari kalangan Habib, Syekh dan Ulama yang datang silih berganti dan memiliki perannya masing-masing. Diantara utusan itu terdapat nama yang sudah populer seperti Habib Abu Bakar Balfaqih yang dikenal dengan Habib Diajung. Namun banyak pula yang tidak terekam dalam litertur sejarah Aceh, seperti Habib Abdurrahman bin Alwi Alhabsyi yang memiliki peran cukup signifikan dalam rekonsiliasi masyarakat Aceh pasca pertikaian kalangan Sayyid dan Uleebalang.
Dari bukti-bukti dokumen yang sah dan ditandatangani oleh Sultan Muhammad Syah dan Sultan Mansyur Syah, maka diketahui bahwa Habib Abdurrahman bin Alwi AlHabsyi adalah seorang kepercayaan Sultan dalam mengurus roda pemerintahan sekaligus dalam menjalankan hukum agama, baik sebagai hakim, wali maupun khatib dan mubaligh. Itulah sebabnya Habib Abdurrahman mendapat kehormatan masyarakat dan mendapat rizki berlimpah ruah yang menjadikan beliau salah satu hartawan di daerah Bugak dan sekitarnya. Sebagai seorang Habib, keturunan Rasulullah yang zahid, tentu beliau adalah seorang yang dermawan dan murah hati dalam membantu masyarakatnya.
Sehubungan dengan waqaf Habib Bugak, apakah waqif dari rumah Aceh adalah Habib Abdurrahman bin Alwi AlHabsyi. Maka dengan bertaqwa dan berserah diri kepada Allah Yang Maha Tahu sepenuhnya, dengan segala kekuarangan analisis dan sumber-sumber yang diperoleh, untuk sementara ini, sampai adanya bukti yang lebih kuat untuk membenarkannya ataupun menyanggahnya, penulis berkesimpulan bahwa yang dimaksud Habib Bugak dalam ikrar waqaf rumah Aceh adalah Habib Abdurrahman bin Alwi AlHabsyi yang datang dari Mekkah pada sekitar pertengahan abad 18an sebagai utusan Syarief Mekkah ke Bandar Aceh, Kesultanan Aceh Darussalam.
Penelitian dan penelusuran ini adalah langkah yang sangat awal sekali untuk memulai sebuah langkah kongkrit dan nyata dalam meneliti selanjutnya sejarah Habib Bugak ataupun Habib Abdurrahman AlHabsyi, baik beliau adalah satu orang yang sama atau berbeda. Diharapkan dengan adanya penelitian awal ini akan mendorong para cendekiawan dan ahli sejarah yang berkompeten untuk mengungkap fakta sesuai dengan bukti-bukti yang dapat dipertanggungjawabkan keabsahannya.
Kepada Allahlah kita semua berserah diri, semoga Dia Yang Maha Tahu senantiasa memberi petunjuk dan hidayahnya kepada kita semua, amin.
Dua tokoh Aceh, Dr. Al Yasa’ Abubakar (Kepala Dinas Syariat Islam NAD) dan Dr. Azman Isma’il, MA (Imam Besar Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh) telah mengeluarkan surat pernyataan tentang asal muasal Waqaf Habib Bugak Asyi. Seorang hartawan dan dermawan Aceh bernama Tgk. Haji Habib Bugak mewakafkan sebuah rumah di Qusyasyiah, tempat antara Marwah dengan Masjidil Haram Mekkah dan sekarang sudah berada di dalam masjid dekat dengan pintu Bab al Fatah.
Menurut akta ikrar Waqaf yang disimpan dengan baik oleh Nadzir, waqaf tersebut diikrarkan oleh Habib Bugak Asyi pada tahun 1222 Hijriyah (sekitar tahun 1800 Masehi) di depan Hakim Mahkamah Syar’iyah Mekkah. Di dalamnya disebutkan bahwa rumah tersebut diwaqafkan untuk penginapan orang yang datang dari Aceh untuk menunaikan haji, serta orang Aceh yang menetap di Mekkah. Dan Habib Bugak telah menunjuk Nadzir (pengelola) salah seorang ulama asal Aceh yang telah menetap di Mekkah. Nadzir diberi hak sesuai dengan tuntunan syariah Islam.
Habib Bugak Asyi telah mewariskan kepada masyarakat Aceh harta yang kini telah berharga lebih 5,2 Trilyun rupiah sebagai waqaf fi sabilillah berupa 2 buah aset, hotel Ajyad (Funduk Ajyad) bertingkat 25 sekitar 500 meter dari Masjidil Haram dan Menara Ajyad (Burj Ajyad) bertingkat 28 sekitar 600 meter dari Masjidil Haram. Kedua hotel besar ini mampu menampung lebih 7000 jamaah yang dilengkapi dengan infrastruktur lengkap. Pada musim haji tahun 1427 lalu, Nadzir (pengelola) Wakaf Habib Bugak Asyi telah mengganti sewa rumah jamaah haji asal Aceh selama di Mekkah sebesar sewa yang telah dibayar Pemerintah Indonesia kepada pemilik pemondokan atau hotel yang ditempati para jamaah haji asal Aceh, yang besarnya sekitar antara SR 1.100 sd SR 2.000, dengan jumlah total 13,5 milyar rupiah. Dan untuk musim haji tahun 1428 tahun ini, Nadzir Waqaf Habib Bugak mengganti biaya pemondokan haji sebesar 25 milyar rupiah.
Namun sampai saat ini belum banyak yang mengetahui secara pasti, siapa sebenarnya Habib Bugak yang telah memberikan manfaat besar kepada masyarakat Aceh, walau beliau sudah wafat. Demikian pula belum ada literatur yang memuat sejarah hidup beliau. Bahkan ketika penulis bertanya kepada Prof.Dr. Al Yasa’ Abubakar melalui sms perihal nama asli Habib Bugak, karena beliau adalah salah seorang yang diutus oleh pemda NAD mewakili perundingan di Mekkah. Beliau menjawab bahwa sampai saat ini belum ada data pasti tentang Habib Bugak, karena di ikrar waqaf tidak tercantum nama asli, hanya disebutkan Habib Bugak Asyi. Beliau juga menambahkan agar Bugak juga ditelusuri, apakah yang dimaksud Bugak yang di Bireun atau lainnya. Menurut beliau sekurangnya ada nama Kuala Bugak yang berada di Aceh Timur.
Karena terdorong oleh kehebatan karomah yang dimiliki oleh Habib Bugak ini, penulis merasa tertarik untuk mengadakan penelitian terhadap sejarah hidup beliau. Karena menurut penulis beliau adalah wali Allah yang memiliki karamah besar, bahkan karomahnya tidak hilang dengan meninggalnya beliau, bahkan bertambah-tambah seperti yang terjadi pada waqaf yang beliau berikan. Berawal dari sebuah rumah yang mampu menampung puluhan orang, kini telah menjadi hotel besar yang mampu menampung 7000 orang dan menghasilkan dana besar untuk kepentingan perjuangan di jalan Allah.
Analisis Pertama: Bugak Asyi, Asal Habib Bugak
Bugak Asyi dalam bahasa Arab artinya daerah Bugak dalam wilayah Aceh. Dalam tulisan Arab, Bugak terdiri dari huruf: ba, waw, kaf, alif dan hamzah. Maka harus ditelusuri sebuah wilayah, daerah, kampong atau mukim yang bernama Bugak dengan huruf-huruf di atas dalam seluruh Aceh, terutama yang termasuk dalam wilayah Kesultanan Aceh Darussalam pada sekitar tahun 1800an, atau tahun dibuatnya ikrar waqaf.
Menurut penelusuran penulis, untuk saat ini ada beberapa yang berkaitan dengan Bugak. Pertama, Bugak yang masuk dalam wilayah Peusangan, Matang Glumpangdua di Kabupaten Bireuen. Menurut mantan Bupati Bireuen, Mustafa A.Glanggang, daerah Bugak tanpa tambahan kata di muka atau belakang, hanya terdapat di wilayah Bireuen saja dan tidak ada terdapat di wilayah/kabupaten lainnya. Menurut sejarahnya, Bugak (sekarang jadi bagian kecamatan Jangka) dahulunya adalah sebuah pusat kota berdekatan dengan daerah pesisir Kuala Peusangan dan Monklayu. Bugak menjadi pertemuan dari kedua kota pelabuhan tersebut dan berkembang menjadi kota maju yang dapat dilihat bekas-bekas peninggalannya hingga kini berupa rumah besar dan mewah serta toko tua yang menjadi tempat tinggal para hartawan yang berprofesi sebagai tuan tanah, saudagar dan lainnya. Dalam sebuah dokumen yang dikeluarkan oleh Sultan Mansyur Syah bertahun 1278 H lengkap dengan cop sekureng, disebutkan sebuah wilayah bernama Bugak yang menjadi wilayah Kesultanan Aceh Darussalam. Di antara kata Bugak disebutkan pula beberapa nama wilayah lain seperti Glumpang Dua, Kejrun Kuala, Bugak, Pante Sidom, Peusangan, Monklayu dan lainnya, yang sebagian nama-nama tersebut memang masih eksis sampai sekarang yang menjadi bagian dari wilayah kecamatan Peusangan, kecamatan Jangka dan kecamatan Gandapura yang terletak di sekitar Matang atau Kabupaten Bireuen.
Kedua, Kuala Bugak, terletak di Peurelak Aceh Timur. Sampai saat ini penulis belum mendapatkan dasar-dasar yang menguatkan bahwa wilayah ini yang sebut Bugak. Disamping karena ada tambahan Kuala di depannya, kehidupan sosial masyarakatpun di sekitar Kuala Bugak tidak mendukung fakta. Setelah mengadakan survey di sekitar Kuala Bugak, penulis bertambah yakin, bahwa Kuala Bugak bukanlah daerah yang dimaksud, karena di sekitar daerah tersebut tidak terdapat situs atau peninggalan dari seorang Habib atau keturunan Rasulullah yang memiliki peranan besar. Penulis hanya menemui beberapa keturunan sayyid yang tinggal sebagai nelayan empat generasi lalu, yang berasal dari Malaysia. Kondisi sosial ekonomi yang memprihatinkan juga tidak menggambarkan peran Kuala Bugak sebagai sebuah pusat perekonomian pada masa itu.
Ketiga, Bugak-Bugak lain. Diantaranya ada yang menyebutkan Matang Buga, dan lainnya. Namun sejauh ini penulis belum mendapat fakta yang berkaitan dengan obyek yang diteliti. Dengan kata lainnya, tidak adanya dasar fakta yang dapat mengaitkannya sebagai wilayah yang dinamakan Bugak, sebagaimana dimaksud pada ikrar waqaf tersebut.
Hipotesa: Berdasarkan beberapa hasil survey dan analisisnya tersebut di atas, maka dapat disimpulkan untuk sementara bahwa Bugak yang terdapat di sekitar kecamatan Jangka, adalah wilayah yang memiliki peluang besar sebagai Bugak yang disebutkan pada perjanjian ikrar waqaf tersebut. Disamping analisis di atas, ada beberapa fakta yang memperkuat dugaan tersebut sebagaimana akan dibahas selanjutnya.
Analisis Kedua: Habib dan Keturunannya di Bugak
Masayarakat Nusantara, khususnya di Aceh telah memberikan gelar Habib kepada para keturunan Rasulullah dari keturunan Sayyidina Husein bin Ali ataupun dari keturunan Sayyidina Hasan bin Ali, biasa juga disebut dengan Sayyid atau Syarief. Gelar Habib biasanya hanya diberikan kepada para pemuka atau tokoh yang telah lanjut usia dan memiliki pengetahuan serta keistimewaan dalam masyarakatnya. Biasanya para Habib adalah seorang tokoh yang berpengaruh serta memiliki pengetahuan luas yang dijadikan pemimpin keagamaan yang memiliki otoritas keagamaan kepada masyarakat muslim. Disamping memiliki kharisma yang besar, biasanya juga memiliki kelebihan-kelebihan supra-natural atau secara spiritual. Boleh dikata bahwa Habib adalah para pemuka atau Ulama dikalangan para sayyid ataupun syarief. Masyarakat yang bukan keturunan Rasulullah, tidak akan diberikan gelar Habib, bahkan mereka tidak biasa atau tidak berani memakai gelar terhormat tersebut. (Lihat pembahasan sebelumnya menurut Snouck dan Muhammad Said)
Di sekitar daerah Bugak, terdapat banyak keturunan Sayyid, terutama dari keturunan Jamalullayl, al-Mahdali, Alaydrus dan mayoritasnya adalah Al-Habsyi. Keturunan Al-Habsyi sangat mendominasi, terutama yang berasal dari sekitar Monklayu. Menurut penelitian dan penelusuran penulis, kebanyakan Sayyid di sekitar Bugak adalah dari keturunan Al-Habsyi. Keturunan ini berasal dari Habib Abdurrahman bin Alwi Al-Habsyi yang hingga saat ini sudah turun temurun menjadi 8 generasi. Menurut beberapa Orang Tuha dan Tgk. Imeum di sekitar Bugak, Habib Abdurrahman bin Alwi Al-Habsyi adalah salah seorang yang pertama membuka Bugak dan memiliki kedudukan terhormat sebagai wakil Sultan. Hal ini diperkuat dengan dokumen yang dikeluarkan Sultan Mansyur Syah bertahun 1270 H/ 1825 M yang menyebutkan dengan terang nama Habib Abdurrahman dengan Bugak.
Analisis Ketiga: Kunyah Habib Abdurrahman = Habib Bugak
Menurut tradisi kaum Hadramiyin (bangsa Arab) yang datang ke Nusantara, biasanya mereka memiliki kunyah (nama gelar) yang kadangkala dinisbatkan kepada tempat tinggal ataupun maqamnya seperti misalnya Sunan Bonang, Sunan Ampel, Pangeran Jayakarta, Habib Chik Dianjung dan dikuti oleh Ulama, termasuk di Aceh seperti Maulana Syiah Kuala dan lain-lainnya. Demikian pula dengan Habib Abdurrahman, menurut tradisi memiliki nama gelar yang dikenal oleh kaum keluarganya sebagai Habib Bugak, karena beliau tinggal di Bugak.
Menurut penelitian penulis di sekitar Bugak dan wilayah yang berhampiran dengannya, tidak ada seorang Habib yang melebihi kemasyhuran Habib Abdurrahman bin Alwi, karena beliau adalah Teungku Chik dan kepercayaan Sultan Aceh untuk wilayah Bugak dan sekitarnya yang memiliki wewenang pemerintahan sekaligus wewenang keagamaan, yang jarang diperoleh seorang pembesar sebagaimana tercantum dalam dokumen sultan tahun 1206 H dan lainnya. Dan sampai saat ini belum penulis temukan seorang Habib yang memakai kunyah Habib Bugak kecuali kepada Habib Abdurrahman bin Alwi.
Analisis Keempat: Masa Hidup Habib Abdurrahman Berdekatan Dengan Ikrar Waqaf
Ikrar waqaf Habib Bugak di Mekkah terjadi pada tahun 1222 H. Sementara dokumen Kesultanan Aceh yang ditandatangani oleh Sultan Mahmudsyah pada tahun 1206 H dan dokumen Kesultanan Aceh yang ditandatangani oleh Sultan Mansyur Syah pada tahun 1270 H menyebutkan dengan tegas nama dan tugas Sayyid Abdurrahman bin Alwi atau Habib Abdurrahman bin Alwi. Dengan demikian, maka dapat disimpulkan bahwa Habib Abdurrahman pernah hidup di Bugak sebagai orang kepercayaan Sultan Aceh Darussalam antara tahun 1206 H sampai dengan tahun 1270 H, hampir bersesuaian dengan tahun waqaf di buat pada tahun 1222 H. Bahkan ada dokumen Sultan yang menyebutkan kuasa Habib pada tahun 1224 H.
Analisis Kelima: Waqif adalah Habib Hartawan-Dermawan Dari Bugak
Sebagaimana dinyatakan Dr. Al Yasa’, bahwa waqif mestilah seorang Habib dari Bugak yang hartawan lagi dermawan. Harta waqaf di Mekkah tersebut boleh jadi beliau beli lalu diwaqafkan atau memang harta warisan nenek moyang beliau dan beliau waqafkan mengingat banyaknya nikmat yang diperoleh di Aceh.
Menurut penelusuran penulis, di daerah Bugak dan sekitarnya, belum ditemukan dari kalangan Habib yang melebihi Habib Abdurrahman bin Alwi AlHabsyi serta anak keturunannya dalam hal kehormatan maupun kehartawanannya. Hal ini dibuktikan oleh beberapa dokumen yang ditandatangani Sultan Aceh yang menyebut wilayah kekuasaan yang dimiliki oleh Habib Abdurrahman dan keturunannya. Sebagai orang yang terpandang, berpangkat serta dekat dengan Sultan, tentulah beliau memiliki banyak konsesi yang diberikan Sultan atau para uleebalang kepada beliau yang menjadikan beliau sebagai salah seorang hartawan di Bugak dan sekitarnya pada masa itu. Hal serupa juga disampaikan oleh keturunan beliau dan diperkuat dengan dokumen Kesultanan. Namun pada zaman revolusi sosial, terutama pasca perang cumbok antara uleebalang dengan ulama, banyak harta benda miliki uleebalang yang disita para ulama, termasuklah tanah-tanah yang selama ini di bawah kendali Habib Abdurrahman.
Jika dibandingkan harta yang diperolehnya ketika berada di Aceh, maka tentu tidak ada artinya jika dibandingkan dengan harta warisan yang beliau tinggalkan di Mekkah pada zaman itu. Dan pada umumnya mereka yang datang dari Arab yang penuh padang pasir dan sudah tinggal di Aceh, akan tetap memilih tinggal di sini, tentu karena alamnya bagaikan surga. Mungkin inilah salah satu yang menjadi pertimbangan Habib Bugak mewaqafkan hartanya di Mekah karena ketertarikan yang besar kepada alam Aceh. Maka adalah sangat wajar apabila beliau mewaqafkan hartanya di Mekah, namun khusus untuk kepentingan masyarakat Aceh, tempat beliau mendapat kenikmatan yang besar.
H. Kesimpulan
Kesultanan Aceh Darussalam adalah salah satu kesultanan di Nusantara yang memiliki peran besar dalam proses Islamisasi yang mendapat dukungan dari Syarief Mekkah. Adapun hubungan antara Kesultanan Aceh dengan Syarief Mekkah ditandai oleh utusan-utusan dari kalangan Habib, Syekh dan Ulama yang datang silih berganti dan memiliki perannya masing-masing. Diantara utusan itu terdapat nama yang sudah populer seperti Habib Abu Bakar Balfaqih yang dikenal dengan Habib Diajung. Namun banyak pula yang tidak terekam dalam litertur sejarah Aceh, seperti Habib Abdurrahman bin Alwi Alhabsyi yang memiliki peran cukup signifikan dalam rekonsiliasi masyarakat Aceh pasca pertikaian kalangan Sayyid dan Uleebalang.
Dari bukti-bukti dokumen yang sah dan ditandatangani oleh Sultan Muhammad Syah dan Sultan Mansyur Syah, maka diketahui bahwa Habib Abdurrahman bin Alwi AlHabsyi adalah seorang kepercayaan Sultan dalam mengurus roda pemerintahan sekaligus dalam menjalankan hukum agama, baik sebagai hakim, wali maupun khatib dan mubaligh. Itulah sebabnya Habib Abdurrahman mendapat kehormatan masyarakat dan mendapat rizki berlimpah ruah yang menjadikan beliau salah satu hartawan di daerah Bugak dan sekitarnya. Sebagai seorang Habib, keturunan Rasulullah yang zahid, tentu beliau adalah seorang yang dermawan dan murah hati dalam membantu masyarakatnya.
Sehubungan dengan waqaf Habib Bugak, apakah waqif dari rumah Aceh adalah Habib Abdurrahman bin Alwi AlHabsyi. Maka dengan bertaqwa dan berserah diri kepada Allah Yang Maha Tahu sepenuhnya, dengan segala kekuarangan analisis dan sumber-sumber yang diperoleh, untuk sementara ini, sampai adanya bukti yang lebih kuat untuk membenarkannya ataupun menyanggahnya, penulis berkesimpulan bahwa yang dimaksud Habib Bugak dalam ikrar waqaf rumah Aceh adalah Habib Abdurrahman bin Alwi AlHabsyi yang datang dari Mekkah pada sekitar pertengahan abad 18an sebagai utusan Syarief Mekkah ke Bandar Aceh, Kesultanan Aceh Darussalam.
Penelitian dan penelusuran ini adalah langkah yang sangat awal sekali untuk memulai sebuah langkah kongkrit dan nyata dalam meneliti selanjutnya sejarah Habib Bugak ataupun Habib Abdurrahman AlHabsyi, baik beliau adalah satu orang yang sama atau berbeda. Diharapkan dengan adanya penelitian awal ini akan mendorong para cendekiawan dan ahli sejarah yang berkompeten untuk mengungkap fakta sesuai dengan bukti-bukti yang dapat dipertanggungjawabkan keabsahannya.
Kepada Allahlah kita semua berserah diri, semoga Dia Yang Maha Tahu senantiasa memberi petunjuk dan hidayahnya kepada kita semua, amin.
Tentang Peneliti & Penulis
Al-Ustadz Hilmy Bakar, adalah Pendiri dan Presiden Hilal Merah sebagai rekomendasi Mudzakarah Nasional Ulama, Habaib dan Cendekiawan Muslim ke XI di Medan Sumut. Pernah menjabat sebagai: Panglima Operasi Kemanusiaan DPP-Front Pembela Islam (FPI) dan Ormas Islam di NAD, Ketua DPP Front Pembela Islam, Wakil Ketua PP Al-Irsyad Al-Islamiyyah, Ketua Umum Aliansi Peduli Aktivis, Kordinator Nasional Mudzakarah Ulama, Habaib dan Cendekiawan Muslim, Ketua Persaudaraan Pekerja Muslim (PPMI), Direktur R&D Universitas Islam Azzahra, Anggota Pleno Partai Bulan Bintang, Bendahara Umum Partai Daulat Rakyat, Preskom Madani Group, Pendiri dan Deputy Presiden Intelektual Muda Muslim Asia Tenggara, Direktur di beberapa Perusahaan Multinasional Malaysia dan beberapa jabatan dan konsultan di pemerintah. Dosen dan Direktur Institut Pendidikan Safa Malaysia, Ketum Yayasan Islam An-Nur NTB. Pernah aktiv di Pelajar Islam Indonesia (PII), Persekutuan Pelajar Islam Asia Tenggara (PEPIAT), Pengkajian Risalah Tauhid BKPMI, Darul Arqam dan Gerakan Mujahidin Ansharullah sebagai Kepala Staf KTWB.
Lahir di Mataram, NTB pada 01 Agustus 1966. Mendapat Pendidikan di SD Kristen Jayapura Irian (Papua) dan Madrasah Diniyah Islamiyah (1978), Madrasah Tsanawiyah Mataram (1982), Madrasah Aliyah Jogyakarta (1984), Islamic College Malaysia (1986), Ma’had Aly Al-Dakwah-Sekolah Tinggi Islam (1988), Diploma Madya Pentadbiran Perniagaan ITTAR Malaysia (1993), Pasca Sarjana Fakultas Pentadbiran Perniagaan Universiti Kebangsaan Malaysia-UKM (1995), Doktor Ekonomi-Manajemen, International Institute of Management Studies akredetasi Assocations of University and College-USA (1999).
Menulis Risalah: Problematika Umat Islam Indonesia (Furqon Press, Yogya-1983), Studi Kritis Terhadap Idiologi Pancasila di Zaman Soeharto (Tanpa Penerbit, Yogya-1983), Risalah Panduan Jihad (Annur, 1987).
Menulis buku : Ummah Melayu Kuasa Baru Abad 21 (Berita Publ. Malaysia-1994), Generasi Penyelamat Ummah (Berita Publ. Malaysia-1995), Panduan Jihad untuk Aktivis Islam (GIP-JKT, 2001), Membangun Kembali Sistem Pendidikan Kaum Muslimin (Azzahra Press, 2002). Buku yang akan terbit : Manhaj Tanzily dan Heurmenotika al-Qur’an Kontemporer dan The Acheh Renaissance. Mempersiapkan : Kecerdasan Ketujuh, Menggerakkan Kecerdasan Ilahiyah Menuju Manusia Sempurna.
Menulis di berbagai koran dan majalah nasional dan regional, terutama Malaysia. Menjadi nara sumber di berbagai seminar/konferensi nasional dan regional. Pernah diwawancarai media masa lokal dan internasional, CNN, BBC, CNBC, Al-Jazeera, Spain TV, La Monde, TheWashington Post, Newsweek dll. Pada 2001 majalah internasional ASIAWEEK meletakkannya sebagai cover dan menjuluki sebagai tokoh jembatan Moderat Islam dengan Radikal Islam di Asia Tenggara.
Sekarang tinggal di Aceh sebagai peneliti, aktivis kemanusiaan dan penggerak pembangunan ekonomi & peradaban masyarakat.
Al-Ustadz Hilmy Bakar, adalah Pendiri dan Presiden Hilal Merah sebagai rekomendasi Mudzakarah Nasional Ulama, Habaib dan Cendekiawan Muslim ke XI di Medan Sumut. Pernah menjabat sebagai: Panglima Operasi Kemanusiaan DPP-Front Pembela Islam (FPI) dan Ormas Islam di NAD, Ketua DPP Front Pembela Islam, Wakil Ketua PP Al-Irsyad Al-Islamiyyah, Ketua Umum Aliansi Peduli Aktivis, Kordinator Nasional Mudzakarah Ulama, Habaib dan Cendekiawan Muslim, Ketua Persaudaraan Pekerja Muslim (PPMI), Direktur R&D Universitas Islam Azzahra, Anggota Pleno Partai Bulan Bintang, Bendahara Umum Partai Daulat Rakyat, Preskom Madani Group, Pendiri dan Deputy Presiden Intelektual Muda Muslim Asia Tenggara, Direktur di beberapa Perusahaan Multinasional Malaysia dan beberapa jabatan dan konsultan di pemerintah. Dosen dan Direktur Institut Pendidikan Safa Malaysia, Ketum Yayasan Islam An-Nur NTB. Pernah aktiv di Pelajar Islam Indonesia (PII), Persekutuan Pelajar Islam Asia Tenggara (PEPIAT), Pengkajian Risalah Tauhid BKPMI, Darul Arqam dan Gerakan Mujahidin Ansharullah sebagai Kepala Staf KTWB.
Lahir di Mataram, NTB pada 01 Agustus 1966. Mendapat Pendidikan di SD Kristen Jayapura Irian (Papua) dan Madrasah Diniyah Islamiyah (1978), Madrasah Tsanawiyah Mataram (1982), Madrasah Aliyah Jogyakarta (1984), Islamic College Malaysia (1986), Ma’had Aly Al-Dakwah-Sekolah Tinggi Islam (1988), Diploma Madya Pentadbiran Perniagaan ITTAR Malaysia (1993), Pasca Sarjana Fakultas Pentadbiran Perniagaan Universiti Kebangsaan Malaysia-UKM (1995), Doktor Ekonomi-Manajemen, International Institute of Management Studies akredetasi Assocations of University and College-USA (1999).
Menulis Risalah: Problematika Umat Islam Indonesia (Furqon Press, Yogya-1983), Studi Kritis Terhadap Idiologi Pancasila di Zaman Soeharto (Tanpa Penerbit, Yogya-1983), Risalah Panduan Jihad (Annur, 1987).
Menulis buku : Ummah Melayu Kuasa Baru Abad 21 (Berita Publ. Malaysia-1994), Generasi Penyelamat Ummah (Berita Publ. Malaysia-1995), Panduan Jihad untuk Aktivis Islam (GIP-JKT, 2001), Membangun Kembali Sistem Pendidikan Kaum Muslimin (Azzahra Press, 2002). Buku yang akan terbit : Manhaj Tanzily dan Heurmenotika al-Qur’an Kontemporer dan The Acheh Renaissance. Mempersiapkan : Kecerdasan Ketujuh, Menggerakkan Kecerdasan Ilahiyah Menuju Manusia Sempurna.
Menulis di berbagai koran dan majalah nasional dan regional, terutama Malaysia. Menjadi nara sumber di berbagai seminar/konferensi nasional dan regional. Pernah diwawancarai media masa lokal dan internasional, CNN, BBC, CNBC, Al-Jazeera, Spain TV, La Monde, TheWashington Post, Newsweek dll. Pada 2001 majalah internasional ASIAWEEK meletakkannya sebagai cover dan menjuluki sebagai tokoh jembatan Moderat Islam dengan Radikal Islam di Asia Tenggara.
Sekarang tinggal di Aceh sebagai peneliti, aktivis kemanusiaan dan penggerak pembangunan ekonomi & peradaban masyarakat.
Catatan Kaki
[1] N.J. Kroom, Zaman Hindu, terjemahan Arief Effendi, Jakarta: Pembangunan, 1956, hlm. 10-12. D.G.E. Hall, A History of South East Asia, London: Macmillan & Co. Ltd., 1960, hlm. 1-5. D.H. Burger dan Prajudi, Sejarah Ekonomis Sosiologis Indonesia, Jakarta: Pradnya Paramita, 1960, hlm. 15. Ma Huan, Ying-yai Sheng-lan, terjemahan dan edisi J.V.G. Mills, Hakluyt Society, 1970, hlm. 120. W.P. Groeneveldt, Historical Notes on Indonesia & Malaya Compiled from Chinese Source, Jakarta: Bharata, 1960, hlm. 209. B. Schrieke, Indonesian Sociological Studies, Part Two, The Hauge-Bandung: W. Van Hoeve Ltd, 1957, hlm. 17. M.A.P. Meilink-Roelofsz, Asian Trade and European Influence in the Indonesian Archipelago between 1500 and abaout 1630, The Hague: Martinus Nijhoff, 1962, hlm. 354.
[2] Rita Rose di Meglio, “Arab Trade with Indonesia and the Malay Peninsula from the 8th to the 16th Century”. Papers on Islamic History II, Islam and the Trade of Asia: A Colloquium, edited by D.S. Ricard, University of Pennsylvania Press 1970, hlm. 115 (catatan no.29). S.M.N. Al-Attas, “Prelimenary Statement on A General Theory of the Islamization”, dalam Islamization of the Malay-Indonesia Archipelago, Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1969, hlm. 11. Risalah Seminar Sejarah Masuknya Islam ke Indonesia di Medan, Medan: Panitia Seminar, 1963, hlm. 87, 207. T.D. Situmorang dan A. Teeuw, Sejarah Melayu, Jakarta: Balai Pustaka, 1958, hlm. 65-66. T. Ibrahim Alfian (ed). Kronika Pasai, Yogjakarta: Gajah Mada University Press, 1973, hlm. 100. Muhammad Yamin, Gajah Mada, Jakarta: Balai Pustaka, 1972, hlm. 60. Mohammad Said, Aceh Sepanjang Abad, Medan: Waspada, 1981. Teuku Iskandar, De Hikayat Atjeh, (S-gravenhage: NV. De Nederlanshe Boek-en Steendrukkerij V. H.L. Smits, 1959). Taufik Abdullah, Islam dan Masyarakat: Pantulan Sejarah Indonesia, (Jakarta: LP3ES, 1996)
[3] Husein Djajaningrat, Kesultanan Aceh: Suatu Pembahasan Tentang Sejarah Kesultanan Aceh Berdasarkan Bahan-bahan Yang Terdapat Dalam Karya Melayu, Teuku Hamid (terj.) (Banda Aceh: Depdikbud DI Aceh. 1983). Siti Hawa Saleh (edt), Bustanus as-Salatin, (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1992). Denys Lombard, Kerajaan Aceh, Jaman Sultan Iskandar Muda 1607-1636, (terj), (Jakarta: Balai Pustaka,1992). C. Snouck Hurgronje, Een- Mekkaansh Gezantscap Naar Atjeh in 1683”, BKI 65, (1991) hlm. 144. Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII, (Bandung: Mizan, 1995), hlm. 196. A. Hasymi, 59 Aceh Merdeka Dibawah Pemerintah Ratu (Jakarta: Bulan Bintang, 1997). Hlm. 32-40.
[4] Siddiq Fadhil, Rumpun Melayu Dalam Era Globalisasi, Makalah Seminar Serantau, (Kuala Lumpur: PEPIAT: 1993). Lihat juga karya beliau, Minda Melayu Baru, (Kuala Lumpur: IKD,1994). Hilmy Bakar Almascaty, Ummah Melayu Kuasa Baru Dunia Abad 21. (Kuala Lumpur: Berita Publishing, 1994)
[5] Lihat : Ali Hasymi, Perang Aceh, (Jakarta: Beuna: 1983). Ibrahim Alfian (edt), Perang Kolonial Belanda di Aceh, (Banda Aceh: Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh, 1997). Lihat juga, Perang Di Jalan Allah, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1987)
[6] Lihat misalnya : Edwin M. Luoeb, Sumatra Its History and People, (Kuala Lumpur: Oxford Univ. Press, 1972). Mohammad Said, Aceh Sepanjang Abad, Medan: Waspada, 1981. Muhammad Ibrahim, Sejarah Daerah Provinsi DI Aceh, (Jakarta: Depdikbud, 1991). Abdul Hadi Arifin, Malikussaleh, (Lhokseumawe: Univ. Malikussaleh Press, 2005). Zakaria Ahmad, Sekitar Keradjaan Atjeh Dalam Tahun 1520-1675, (Medan: Monara, tt). C. Snouck Hurgronje, The Acehnese, (Leiden: AWS. O’Sullivan, 1906). SMN. Al-Attas, The Mysticism of Hamzah Fansuri, (Kuala Lumpur: UM Press, 1970). C.A.O. van Nieuwenhuize, Samsu’l-Din van Pasai (Leiden, 1945). D.A. Rinkers, Abdurrauf van Singkel, (Leiden: 1909). Ahmad Daudi, Syekh Nuruddin Ar-Raniry, Sejarah Hidup, Karya dan Pemikiran (Banda Aceh: P3KI IAIN Ar-Raniry, 2006). Ismail Yakkub, Tgk. Tjik Di Tiro, (Jakarta: Bulan Bintang, 1952).
[7] Dalam hadits yang diriwayatkan Imam Bukhori, disebutkan hanya Kitab Allah dan Sunnahku. Namun banyak yang meriwayatkan dengan bunyi di atas, seperti riwayat dari Imam Ja’far Shodiq dan lain-lain
[8] Lihat : Mohammad Said, Aceh Sepanjang Abad, (Medan: Waspada, 1981).
[9] C. Snouck Hurgronje, The Acehnese, (Leiden: AWS. O’Sullivan, 1906).
[10] ibid
[11] Lihat misalnya : A.K. Dasgupta, Aceh in Indonesia Trade and Politic 1600-1641. Disertasi, Cornell Univ. 1962
[12] TD. Situmorang, op.cit., hlm. 59-61
[13] Nuruddin ar-Raniry, Bustanu’l-Salatin, hlm. 32-34. A.H. Johns, “Islam in Southeast Asia: Reflections and New Directions”, Indonesia, Cornell Modern Indonesia Project, 1975, no.19. hlm. 45
[14] Lihat : Mohammad Said, Aceh Sepanjang Abad, (Medan: Waspada, 1981).
[15] Fadhlullah Jamil M.A., “Kerajaan Aceh Darussalam dan Hubungannya Dengan Semenanjung Melayu” dan Wan Hussein Azmi, “Islam di Aceh Masuk dan Berkembangnya Hingga Abad XVI”.dalam Ali Hasjmi, (ed). Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia, (Bandung: Al-Maarif, 1981). Hlm.214-236.
[16] Lihat Denys Lombard, op.cit.
[17] Nuruddin ar-Raniry, Bustanu’l-Salatin, hlm.37-42. Lihat juga: T. Iskandar, De Hikajat Atjeh. Hlm.137-153. Encyclopaedia of Islam, artikel tentang ”Shaikh al-Islam”.
[18] Ahmad Daudy, Syekh Nuruddin Ar-Raniry, op.cit. hlm. 4-5.
[19] M. Hasbi Amiruddin, “Peran Ulama Dalam Penyelesaian Konflik Di Aceh”, dalam Anwar Daud & Husaini Husda, Peristiwa Cumbok di Aceh,(Banda Aceh: Dinas Kebudayaan DI Aceh, 2006), hlm. 135
[20] J. Kathirithamby-Well, “Achenese Control over West Sumatra up to the Treaty of 1663”. Journal of Southeast Asian History, Jilid X, no. 3, Desember 1969. hlm. 464
[21] Ahmad Daudi, op.cit. 39
[22] Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII, (Bandung: Mizan, 1995), hlm. 196.C. Snouck Hurgronje, Een- Mekkaansh Gezantscap Naar Atjeh in 1683”, BKI 65, (1991) hlm. 144. A. Hasymi, 59 Aceh Merdeka Dibawah Pemerintah Ratu (Jakarta: Bulan Bintang, 1997). Hlm. 32-40. D.A. Abdurrauf van Singkel, Leiden, 1909.
[23] Muhammad Said, ibid.
[24] ibid
[25] A. Mukti Ali, An Introduction to Government of Aceh’s Sultanate, (Yogyakarta: Nida, 1970) hlm. 12.
[26] Muhammad Said, ibid
[27] Lihat: Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII, (Bandung: Mizan, 1995)
[28] Sampai saat ini belum ditemukan literatur yang menguatkan sebab-sebab kedatangan Habib Abdurrahman Al-Habsyi ke Aceh sebagai utusan resmi Syarief Mekkah. Menurut cerita yang berkembang di kalangan keturunan beliau, sebagaimana diceritakan Sayed Dahlan bin Abdurrahman bin Shafi al-Habsyi (Lhoksemawe,60 th), Sayed Zein bin Abdullah bin Zein bin Shafi al-Habsyi (Monklayu,65 th)) dan Sayed Muhammad bin Husein bin Shafi (Sampoinet, 80 th), bahwa kakeknya Habib Abdurrahman datang ke Aceh bersama rombongan utusan dari Syarief Mekkah. Hal ini diperkuat dengan beberapa dokumen Kesultanan Aceh Darussalam yang bertahun 1785 M dan 1800 M, yang ditandatangani oleh Sultan Muhammad Syah dan Sultan Manshur Syah yang memberikan tugas-tugas Sultan kepada Habib Abdurrahman sebagai penguasa lokal, termasuk urusan agama. Secara rasional mana mungkin Habib Abdurrahman mendapat kepercayaan Sultan, apabila beliau tidak memiliki kedekatan dengan pusat kekuasaan di Banda Aceh, tempat dikeluarkannya surat tersebut. Disamping Habib Abdurrahman memang memiliki kepatutan dan kelayakan sebagai orang kepercayaan Sultan.
[1] N.J. Kroom, Zaman Hindu, terjemahan Arief Effendi, Jakarta: Pembangunan, 1956, hlm. 10-12. D.G.E. Hall, A History of South East Asia, London: Macmillan & Co. Ltd., 1960, hlm. 1-5. D.H. Burger dan Prajudi, Sejarah Ekonomis Sosiologis Indonesia, Jakarta: Pradnya Paramita, 1960, hlm. 15. Ma Huan, Ying-yai Sheng-lan, terjemahan dan edisi J.V.G. Mills, Hakluyt Society, 1970, hlm. 120. W.P. Groeneveldt, Historical Notes on Indonesia & Malaya Compiled from Chinese Source, Jakarta: Bharata, 1960, hlm. 209. B. Schrieke, Indonesian Sociological Studies, Part Two, The Hauge-Bandung: W. Van Hoeve Ltd, 1957, hlm. 17. M.A.P. Meilink-Roelofsz, Asian Trade and European Influence in the Indonesian Archipelago between 1500 and abaout 1630, The Hague: Martinus Nijhoff, 1962, hlm. 354.
[2] Rita Rose di Meglio, “Arab Trade with Indonesia and the Malay Peninsula from the 8th to the 16th Century”. Papers on Islamic History II, Islam and the Trade of Asia: A Colloquium, edited by D.S. Ricard, University of Pennsylvania Press 1970, hlm. 115 (catatan no.29). S.M.N. Al-Attas, “Prelimenary Statement on A General Theory of the Islamization”, dalam Islamization of the Malay-Indonesia Archipelago, Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1969, hlm. 11. Risalah Seminar Sejarah Masuknya Islam ke Indonesia di Medan, Medan: Panitia Seminar, 1963, hlm. 87, 207. T.D. Situmorang dan A. Teeuw, Sejarah Melayu, Jakarta: Balai Pustaka, 1958, hlm. 65-66. T. Ibrahim Alfian (ed). Kronika Pasai, Yogjakarta: Gajah Mada University Press, 1973, hlm. 100. Muhammad Yamin, Gajah Mada, Jakarta: Balai Pustaka, 1972, hlm. 60. Mohammad Said, Aceh Sepanjang Abad, Medan: Waspada, 1981. Teuku Iskandar, De Hikayat Atjeh, (S-gravenhage: NV. De Nederlanshe Boek-en Steendrukkerij V. H.L. Smits, 1959). Taufik Abdullah, Islam dan Masyarakat: Pantulan Sejarah Indonesia, (Jakarta: LP3ES, 1996)
[3] Husein Djajaningrat, Kesultanan Aceh: Suatu Pembahasan Tentang Sejarah Kesultanan Aceh Berdasarkan Bahan-bahan Yang Terdapat Dalam Karya Melayu, Teuku Hamid (terj.) (Banda Aceh: Depdikbud DI Aceh. 1983). Siti Hawa Saleh (edt), Bustanus as-Salatin, (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1992). Denys Lombard, Kerajaan Aceh, Jaman Sultan Iskandar Muda 1607-1636, (terj), (Jakarta: Balai Pustaka,1992). C. Snouck Hurgronje, Een- Mekkaansh Gezantscap Naar Atjeh in 1683”, BKI 65, (1991) hlm. 144. Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII, (Bandung: Mizan, 1995), hlm. 196. A. Hasymi, 59 Aceh Merdeka Dibawah Pemerintah Ratu (Jakarta: Bulan Bintang, 1997). Hlm. 32-40.
[4] Siddiq Fadhil, Rumpun Melayu Dalam Era Globalisasi, Makalah Seminar Serantau, (Kuala Lumpur: PEPIAT: 1993). Lihat juga karya beliau, Minda Melayu Baru, (Kuala Lumpur: IKD,1994). Hilmy Bakar Almascaty, Ummah Melayu Kuasa Baru Dunia Abad 21. (Kuala Lumpur: Berita Publishing, 1994)
[5] Lihat : Ali Hasymi, Perang Aceh, (Jakarta: Beuna: 1983). Ibrahim Alfian (edt), Perang Kolonial Belanda di Aceh, (Banda Aceh: Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh, 1997). Lihat juga, Perang Di Jalan Allah, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1987)
[6] Lihat misalnya : Edwin M. Luoeb, Sumatra Its History and People, (Kuala Lumpur: Oxford Univ. Press, 1972). Mohammad Said, Aceh Sepanjang Abad, Medan: Waspada, 1981. Muhammad Ibrahim, Sejarah Daerah Provinsi DI Aceh, (Jakarta: Depdikbud, 1991). Abdul Hadi Arifin, Malikussaleh, (Lhokseumawe: Univ. Malikussaleh Press, 2005). Zakaria Ahmad, Sekitar Keradjaan Atjeh Dalam Tahun 1520-1675, (Medan: Monara, tt). C. Snouck Hurgronje, The Acehnese, (Leiden: AWS. O’Sullivan, 1906). SMN. Al-Attas, The Mysticism of Hamzah Fansuri, (Kuala Lumpur: UM Press, 1970). C.A.O. van Nieuwenhuize, Samsu’l-Din van Pasai (Leiden, 1945). D.A. Rinkers, Abdurrauf van Singkel, (Leiden: 1909). Ahmad Daudi, Syekh Nuruddin Ar-Raniry, Sejarah Hidup, Karya dan Pemikiran (Banda Aceh: P3KI IAIN Ar-Raniry, 2006). Ismail Yakkub, Tgk. Tjik Di Tiro, (Jakarta: Bulan Bintang, 1952).
[7] Dalam hadits yang diriwayatkan Imam Bukhori, disebutkan hanya Kitab Allah dan Sunnahku. Namun banyak yang meriwayatkan dengan bunyi di atas, seperti riwayat dari Imam Ja’far Shodiq dan lain-lain
[8] Lihat : Mohammad Said, Aceh Sepanjang Abad, (Medan: Waspada, 1981).
[9] C. Snouck Hurgronje, The Acehnese, (Leiden: AWS. O’Sullivan, 1906).
[10] ibid
[11] Lihat misalnya : A.K. Dasgupta, Aceh in Indonesia Trade and Politic 1600-1641. Disertasi, Cornell Univ. 1962
[12] TD. Situmorang, op.cit., hlm. 59-61
[13] Nuruddin ar-Raniry, Bustanu’l-Salatin, hlm. 32-34. A.H. Johns, “Islam in Southeast Asia: Reflections and New Directions”, Indonesia, Cornell Modern Indonesia Project, 1975, no.19. hlm. 45
[14] Lihat : Mohammad Said, Aceh Sepanjang Abad, (Medan: Waspada, 1981).
[15] Fadhlullah Jamil M.A., “Kerajaan Aceh Darussalam dan Hubungannya Dengan Semenanjung Melayu” dan Wan Hussein Azmi, “Islam di Aceh Masuk dan Berkembangnya Hingga Abad XVI”.dalam Ali Hasjmi, (ed). Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia, (Bandung: Al-Maarif, 1981). Hlm.214-236.
[16] Lihat Denys Lombard, op.cit.
[17] Nuruddin ar-Raniry, Bustanu’l-Salatin, hlm.37-42. Lihat juga: T. Iskandar, De Hikajat Atjeh. Hlm.137-153. Encyclopaedia of Islam, artikel tentang ”Shaikh al-Islam”.
[18] Ahmad Daudy, Syekh Nuruddin Ar-Raniry, op.cit. hlm. 4-5.
[19] M. Hasbi Amiruddin, “Peran Ulama Dalam Penyelesaian Konflik Di Aceh”, dalam Anwar Daud & Husaini Husda, Peristiwa Cumbok di Aceh,(Banda Aceh: Dinas Kebudayaan DI Aceh, 2006), hlm. 135
[20] J. Kathirithamby-Well, “Achenese Control over West Sumatra up to the Treaty of 1663”. Journal of Southeast Asian History, Jilid X, no. 3, Desember 1969. hlm. 464
[21] Ahmad Daudi, op.cit. 39
[22] Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII, (Bandung: Mizan, 1995), hlm. 196.C. Snouck Hurgronje, Een- Mekkaansh Gezantscap Naar Atjeh in 1683”, BKI 65, (1991) hlm. 144. A. Hasymi, 59 Aceh Merdeka Dibawah Pemerintah Ratu (Jakarta: Bulan Bintang, 1997). Hlm. 32-40. D.A. Abdurrauf van Singkel, Leiden, 1909.
[23] Muhammad Said, ibid.
[24] ibid
[25] A. Mukti Ali, An Introduction to Government of Aceh’s Sultanate, (Yogyakarta: Nida, 1970) hlm. 12.
[26] Muhammad Said, ibid
[27] Lihat: Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII, (Bandung: Mizan, 1995)
[28] Sampai saat ini belum ditemukan literatur yang menguatkan sebab-sebab kedatangan Habib Abdurrahman Al-Habsyi ke Aceh sebagai utusan resmi Syarief Mekkah. Menurut cerita yang berkembang di kalangan keturunan beliau, sebagaimana diceritakan Sayed Dahlan bin Abdurrahman bin Shafi al-Habsyi (Lhoksemawe,60 th), Sayed Zein bin Abdullah bin Zein bin Shafi al-Habsyi (Monklayu,65 th)) dan Sayed Muhammad bin Husein bin Shafi (Sampoinet, 80 th), bahwa kakeknya Habib Abdurrahman datang ke Aceh bersama rombongan utusan dari Syarief Mekkah. Hal ini diperkuat dengan beberapa dokumen Kesultanan Aceh Darussalam yang bertahun 1785 M dan 1800 M, yang ditandatangani oleh Sultan Muhammad Syah dan Sultan Manshur Syah yang memberikan tugas-tugas Sultan kepada Habib Abdurrahman sebagai penguasa lokal, termasuk urusan agama. Secara rasional mana mungkin Habib Abdurrahman mendapat kepercayaan Sultan, apabila beliau tidak memiliki kedekatan dengan pusat kekuasaan di Banda Aceh, tempat dikeluarkannya surat tersebut. Disamping Habib Abdurrahman memang memiliki kepatutan dan kelayakan sebagai orang kepercayaan Sultan.